Cari Blog Ini

Kamis, 10 Maret 2011

Bank Syariah

BANK SYARIAH

Definisi Perbankan Syariah

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 mendefinisikan Perbankan Syariah sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

PENDANAAN ( TABUNGAN,GIRO,DEPOSITO )
*  TABUNGAN

Ø   Definisi Tabungan Mudharabah

Tabungan Mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah.
Mudharabah mempunyai dua bentuk :
1.      mudharabah Muthlaqah
2.      mudharabah muqayyadah,
Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam mengelola hartanya.
Dalam hal ini, bank syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Bank syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib, mempunyai kuasa untuk melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.
Namun, di sisi lain, bank syariah juga memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yang berarti bank harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, bank syariah akan membagihasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement (salah urus), bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.
Dalam mengelola harta mudharabah, bank menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. Di samping itu, bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah penabung tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPH bagi hasil tabungan mudharabah dibebankan langsung ke rekening tabungan mudharabah pada saat perhitungan bagi hasil.

Ketentuan Umum Tabungan Mudharabah

Ketentuan umum tabungan mudharabah adalah sebagai berikut:
1.      Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana;
2.      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3.      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang;
4.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam bentuk dalam akad pembukaan rekening;
5.      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya;
6.      Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Pembayaran Bagi Hasil pada Tabungan Mudharabah

Dalam hal pembayaran bagi hasil, bank syariah menggunakan metode end of month, yaitu:
1.      Pembayaran bagi hasil tabungan mudharabah dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan;
2.      Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukaan tabungan.
3.      Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
4.      Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari).
5.      Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan nasabah.

Perhitungan Bagi Hasil pada Tabungan Mudharabah

Perhitungan bagi hasil tabungan mudharabah dilakukan berdasarkan saldo rata-rata harian yang dihitung di tiap akhir bulan dan di buku awal bulan berikutnya.
Rumus perhitungan bagi hasil tabungan mudharabah adalah sebagai berikut:
(hari bagi hasil x saldo rata-rata harian x tingkat bagi hasil)/hari kalender yang bersangkutan.
Dalam memperhitungkan bagi hasil tabungan mudharabah tersebut, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.      Hasil perhitungan bagi hasil dalam angka satuan bulat tanpa mengurangi hak nasabah (a) Pembulatan ke atas untuk nasabah; (b) Pembukatan ke bawah untuk bank;
2.      Hasil perhitungan pajak dibulatkan ke atas sampai puluhan terdekat.

Definisi Tabungan Wadiah

Tabungan Wadiah adalah jenis simpanan pada bank bagi perorangan/badan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu, bersifat wadiah.
Wadiah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya.

Ketentuan Umum Tabungan Wadiah

Ketentuan Umum Tabungan Wadiah sebagai berikut:
1.      Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
2.      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
3.      Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.

Prinsip Tabungan Wadiah

Prinsip yang digunakan dalam perbankan syariah adalah Wadiah Yad ad Dhamanah. Wadiah Yad ad Dhamanah adalah titipan dana nasabah pada bank yang dapat dipergunakan oleh bank dengan seizin nasabah dengan Bank menjamin akan mengembalikan titipan tersebut secara utuh (sebesar pokok yang dititipkan).
Bank dapat memberikan bonus atau yang sejenis pada nasabah sebagai tanda terima kasih atas penggunaan dana tersebut oleh bank, selama pemberian bonus tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian, tidak disyaratkan atau tidak diinformasikan baik secara lisan maupun tulisan.

Teknik Perhitungan Bonus pada Tabungan Wadiah

Dalam hal bank berkeinginan untuk memberikan bonus wadiah, beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Bonus wadiah atas dasar saldo terendah;
2.      Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian;
3.      Bonus wadiah atas dasar saldo harian.
Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus tabungan wadiah adalah sebagai berikut:
a.       Bonus wadiah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo terendah bulan yang bersangkutan.
Rumus bonus = tariff bonus wadiah x saldo terendah bulan yang bersangkutan;
b.      Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo ratarata harian bulan yang bersangkutan.
Rumus Bonus = tarif bonus wadiah x saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan;
c.       Bonus wadiah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif.
Rumus Bonus = tarif bonus wadiah x saldo harian yang bersangkutan x hari efektif.
Dalam memperhitungkan pemberian bonus wadiah tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1.      Tarif bonus wadiah merupakan besarnya tariff yang diberikan bank sesuai ketentuan;
2.      Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan;
3.      Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya menurut bulan kalender. Misalnya: bulan Januari 31 hari, bulan Februari 28/29 hari, dengan catatan satu tahun 365 hari;
4.      Saldo harian adalah saldo pada akhir hari;
5.      Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari tanggal pembukaan atau tanggal penutupan, namun termasuk hari tanggal tutup buku;
6.      Dana tabungan yang mengendap kurang dari satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila perhitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.

*  GIRO

Ketentuan Umum Giro Mudharabah

Ketentuan Umum Giro berdasarkan mudharabah sebagai berikut:
1.      Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana
2.      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3.      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang;
4.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam bentuk dalam akad pembukaan rekening;
5.      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya;
6.      Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Ketentuan Akad Giro Mudharabah

Mudharabah mempunyai dua bentuk, yakni :
a.      mudharabah Muthlaqah,
b.      mudharabah muqayyadah
Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam mengelola hartanya, baik dari sisi tempat, waktu, maupun objek investasinya.
Dalam hal ini, bank syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain.
Dengan demikian, bank syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Di samping itu, bank syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar berbagai aturan syariah. Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, bank syariah akan membagihasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah mismanagement (salah urus), bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut. Dalam mengelola harta mudharabah, bank menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
Di samping itu, bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah giran tanpa persetujuan yang bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPH bagi hasil giro mudharabah dibebankan langsung ke rekening giro mudharabah pada saat perhitungan bagi hasil.

Syarat giro mudharabah

Syarat giro mudharabah adalah sebagai berikut:
a.       Nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib);
b.      Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya melakukan akad mudharabah dengan pihak lain;
c.       Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang, serta dinyatakan jumlah nominalnya;
d.      Nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh Bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening;
e.       Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
f.        Pemberian keuntungan untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah setiap akhir bulan laporan.
g.       Bank menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya; dan
h.       Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Pembayaran Bagi Hasil pada Giro Mudharabah

Dalam hal pembayaran bagi hasil pada giro mudharabah, bank syariah menggunakan metode end of month, yaitu:
a.       Pembayaran bagi hasil giro mudharabah dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan;
b.      Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukaan giro.
c.       Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
d.      Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari).
e.       Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan nasabah.

Perhitungan Bagi Hasil Giro Mudharabah

Perhitungan bagi hasil giro mudharabah dilakukan berdasarkan saldo rata-rata harian yang dihitung di tiap akhir bulan dan di buku awal bulan berikutnya.
Rumus perhitungan bagi hasil giro mudharabah adalah sebagai berikut:
Bagi Hasil = (hari bagi hasil x saldo rata-rata harian x tingkat bagi hasil)/hari kalender yang bersangkutan.
Dalam memperhitungkan bagi hasil giro mudharabah tersebut, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Hasil perhitungan bagi hasil dalam angka satuan bulat tanpa mengurangi hak nasabah:
a.       Pembulatan ke atas untuk nasabah;
b.      Pembukatan ke bawah untuk bank;
2. Hasil perhitungan pajak dibulatkan ke atas sampai puluhan terdekat.

Giro Wadiah

Giro Wadiah adalah simpanan atau titipan pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat (wadi’ah demand deposit).
Syarat giro wadiah adalah sebagai berikut:
a.       Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana titipan;
b.      dana titipan disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal;
c.       dana titipan dapat diambil setiap saat;
d.      tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah;
e.       Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah.

Akad pada Giro Wadiah

Dalam kaitannya dengan produk giro, bank syariah menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun demikian, bank syariah diperkenankan memberikan insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya.

Bonus pada Giro Wadiah

Bank syariah dapat memberikan bonus atas penitipan dana wadiah termasuk pada Giro wadiah. Pemberian bonus dimaksud merupakan kewenangan bank dan tidak boleh diperjanjikan di muka.

Ketentuan Umum Giro Wadiah

Ada beberapa ketentuan umum giro wadiah sebagai berikut:
1.      Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.
2.      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat, namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
3.      Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian ataupun seluruhnya.

Teknik Perhitungan Bonus pada Giro Wadiah

Pada prinsipnya, teknik perhitungan bonus wadiah dihitung dari saldo terendah dalam satu bulan. Namun demikian, bonus wadiah dapat diberikan kepada giran sebagai berikut:
1.      Saldo terendah dalam satu bulan takwim di atas Rp1.000.000,00 (bagi rekening yang bonus wadiahnya dihitung dari saldo terendah),
2.      Saldo rata-rata harian dalam satu bulan takwim di atas Rp1.000.000,00 (bagi rekening yang bonus gironya dihitung dari saldo rata-rata harian),
3.      Saldo hariannya di atas Rp1.000.000,00 (bagi rekening yang bonus wadiahnya dihitung dari saldo harian).


Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus giro wadiah adalah sebagai berikut :
a.       Bonus wadiah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo terendah bulan yang bersangkutan. Rumus bonus = tarif bonus wadiah x saldo terendah bulan yang bersangkutan;
b.      Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan. Rumus Bonus = tarif bonus wadiah x saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan;
c.       Bonus wadiah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif. Rumus Bonus = tarif bonus wadiah x saldo harian ybs x hari efektif.
Dalam memperhitungkan pemberian bonus wadiah tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1.      Tarif bonus wadiah merupakan besarnya tarif yang diberikan bank sesuai ketentuan;
2.      Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan;
3.      Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya menurut bulan kalender. Misalnya: bulan Januari 31 hari, bulan Februari 28/29 hari, dengan catatan satu tahun 365 hari;
4.      Saldo harian adalah saldo pada akhir hari;
5.      Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari tanggal pembukaan atau tanggal penutupan, namun termasuk hari tanggal tutup buku;
6.      Dana giro yang mengendap kurang dari satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila perhitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.

*   DEPOSITO

Jenis Deposito Mudharabah

Jenis deposito syariah sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan, deposito dengan prinsip mudharabah dibagi menjadi:
1.      Deposito mudharabah 1 Bulan,
2.      Deposito mudharabah 3 Bulan.
3.      Deposito mudharabah 6 Bulan.
4.      Deposito mudharabah 12 Bulan.
5.      Deposito mudharabah 24 Bulan.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana, terdapat 2 (dua) bentuk mudharabah, yakni :
a.      Mudharabah Muthlaqah (Unrestricted Investment Account, URIA);
b.      Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investment Account/RIA).
Jenis deposito syariah jika dilihat dari perlakuan setelah saat jatuh tempo, dapat dibedakan menjadi:
1.      Deposito mudharabah dengan Automatic Roll Over (ARO), diperpanjang otomatis.
2.      Deposito mudharabah dengan sistem Await for Instruction (AI), tidak otomatis diperpanjang.

Metode Pembayaran Bagi Hasil Deposito Mudharabah Muthlaqah (URIA)

Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah Muthlaqah (URIA) dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:
1.      Anniversary Date:
a.       Pembayaran bagi hasil deposito dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal pembukaan deposito;
b.      Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir;
c.       Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai dengan permintaan deposan;
2. End of Month:
a.       Pembayaran bagi hasil deposito dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan;
b.      Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukaan deposito;
c.       Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk tanggal jatuh tempo deposito. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir;
d.      Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari);
e.       Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan deposan.
Dalam hal pencairan deposito mudharabah Muthlaqah (URIA) dengan pembayaran bagi hasil bulanan yang dilakukan sebelum tanggal jatuh tempo, bank syariah dapat mengenakan denda (penalty) kepada nasabah yang bersangkutan sebesar 3% dari nominal bilyet deposito mudharabah Muthlaqah (URIA).
Klausula denda harus ditulis dalam akad dan dijelaskan kepada nasabah pada saat pembukaan deposito mudharabah Muthlaqah (URIA) semua jangka waktu (1, 3, 6, dan 12 bulan) untuk disepakati bersama oleh nasabah dan bank. Dalam hal ini, bagi hasil yang menjadi hak nasabah dan belum dibayarkan, harus dibayarkan.
Dalam memperhitungkan bagi hasil deposito tersebut, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Hasil perhitungan bagi hasil dalam angka satuan bulat tanpa mengurangi hak nasabah:
a.       Pembulatan ke atas untuk nasabah;
b.      Pembulatan ke bawah untuk bank;
2.      Hasil perhitungan pajak dibulatkan ke atas sampai puluhan terdekat.

Metode Pembayaran Bagi Hasil Deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA)

Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah muqayyadah (RIA) dapat dilakukan melalui metode sebagai berikut yaitu :
1.      Anniversary Date:
a.       Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal pembukaan deposito;
b.      Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir;
c.       Bagi Hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan deposan;

2.      End of Month:
a.       Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan;
b.      Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukaan deposito;
c.       Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk tanggal jatuh tempo deposito. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir;
d.      Jumlah hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari);
e.       Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan deposan;
3.      Perhitungan Bagi Hasil Specific Project. Dalam menghitung bagi hasil deposito, basis perhitungan hari bagi hasil deposito adalah hari tanggal pembukaan deposito sampai dengan tanggal pembayaran bagi hasil terdekat, dan menjadi angka pembilang atau number of days. Sedangkan jumlah hari tanggal pembayaran bagi hasil terakhir sampai tanggal pembayaran bagi hasil berikutnya menjadi angka penyebut/angka pembagi.Dalam hal nominal proyek yang dibiayai oleh oleh lebih dari satu nasabah atau oleh bank dan nasabah, maka bagi hasil dihitung secara proporsional.
Rumus perhitungan bagi hasil yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
[Hari Bagi Hasil/Hari Bagi Hasil Terakhir Sampai Bagi Hasil Berikutnya] x [Nominal Deposito/ Nominal Proyek yang Dibiayai] x Return Proyek.

Deposito Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investment  Account/RIA)

Dalam deposito mudharabah muqayyadah (RIA), pemilik dana memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada bank syariah dalam mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya. Dengan kata lain, bank syariah tidak mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana RIA ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.


Dalam menggunakan dana deposito mudharabah muqayyadah (RIA) ini, terdapat dua metode, yakni:
1. Cluster Pool of Fund, yaitu penggunaan dana untuk beberapa proyek dalam suatu jenis industri bisnis.
2. Specific Product, yaitu penggunaan dana untuk suatu proyek tertentu.

Deposito Mudharabah Muthlaqah (Unrestricted Investment  Account/URIA)

Dalam deposito mudharabah Muthlaqah (URIA), pemilik dana tidak memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada bank syariah dalam mengelola investasinya, baik yang berkaitan dengan tempat, cara maupun objek investasinya. Dengan kata lain, bank syariah mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana URIA ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
Dalam menghitung bagi hasil deposito mudharabah muthlaqah (URIA), basis perhitungan adalah hari bagi hasil sebenarnya, termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukaan deposito mudharabah Muthlaqah (URIA) dan tanggal jatuh tempo.
Sedangkan jumlah hari dalam sebulan yang menjadi angka penyebut/angka pembagi adalah hari kalender bulan yang bersangkutan (28 hari, 29 hari, 30 hari, 31 hari).
Rumus perhitungan bagi hasil deposito mudharabah Muthlaqah (URIA) adalah sebagai berikut: (hari bagi hasil x nominal deposito mudharabah x tingkat bagi hasil)/hari kalender yang bersangkutan.
Dalam memperhitungkan bagi hasil deposito mudharabah Muthlaqah tersebut, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Hasil perhitungan bagi hasil dalam angka satuan bulat tanpa mengurangi hak nasabah:
a.       Pembulatan ke atas untuk nasabah;
b.      Pembukatan ke bawah untuk bank;
2. Hasil perhitungan pajak dibulatkan ke atas sampai puluhan terdekat.

 

 

 

Pembayaran Bagi Hasil Deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA)

Dalam hal ini, bank syariah melakukan pembayaran bagi hasil sesuai dengan metode penggunaan dana RIA, yakni:
1. Cluster Pool of fund. Pembayaran bagi hasil deposito mudharabah Muqayyadah (RIA) dilakukan secara bulanan, triwulanan, semesteran atau periodesasi lain yang disepakati.
2. Specific Project. Pembayaran bagi hasil disesuaikan dengan arus kas proyek yang dibiayai.

Pencairan Deposito Mudharabah Muqayyadah (RIA)

Dalam hal pencairan deposito mudharabah muqayyadah (RIA), terdapat ketentuan sebagai berikut:
1.      Khusus untuk cluster, apabila dikehendaki oleh deposan, deposito mudharabah muqayyadah (RIA) dapat dicairkan atau ditarik kembali sebelum jatuh tempo yang disepakati dalam akad. Akibat tidak terpenuhinya jangka waktu akad, bank mengenakan denda (penalty) sesuai klausula denda yang disepakati dalam akad.
2.      Khusus untuk specific project, deposito tidak dapat dicairkan atau ditarik kembali sebelum jatuh temponya tanpa konfirmasi dan persetujuan tertulis dari Bank. Bank dapat menolak permohonan pencairan sebelum jatuh tempo bila memberatkan bank.
Dalam hal Bank menyetujui pencairan sebelum jatuh tempo, Bank dapat mengenakan denda (penalty) sesuai kesepakatan. deposito mudharabah muqayyadah (RIA) dengan pembayaran bagi hasil secara bulanan dapat dicairkan sebelum tanggal jatuh tempo dengan dikenakan denda (penalty) sebesar 3% dari nominal bilyet deposito mudharabah muqayyadah (RIA).
Klausula denda harus ditulis dalam akad dan dijelaskan kepada nasabah pada saat pembukaan deposito mudharabah muqayyadah (RIA) semua jangka waktu (1, 3, 6, dan 12 bulan) untuk disepakati bersama oleh nasabah dan bank. Dalam hal ini, bagi hasil yang menjadi hak nasabah dan belum dibayarkan, harus dibayarkan.

PEMBIAYAAN ( MURABAHAH, SALAM,ISTISNA,MUDARABAH, MUSYARAKAH,IJARAH,QARD,RAHN,PRKS,TA’WIDH,MULTI JASA,LINE FACILITY,HAJI )
*  MURABAHAH

Definisi Murabahah

Murabahah adalah akad jual beli antara bank dan nasabah. Bank akan melakukan pembelian atau pemesanan barang sesuai permintaan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah sebesar harga beli ditambah keuntungan yang disepakati.

Ketentuan Murabahah kepada Nasabah

Ketentuan Murabahah kepada Nasabah adalah sebagai berikut:
1.      Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2.      Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3.      Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4.      Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5.      Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6.      Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7.      Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka (a) jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. (b) jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Pembayaran pada Murabahah

Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Murabahah muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian (setelah awal akad), baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus).

Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

Ketentuan penundaan pembayaran dalam murabahah adalah sebagai berikut:
1.      Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2.      Jika nasabah menundanunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Penjadualan Kembali Murabahah

LKS boleh melakukan penjadualan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
1.      Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;
2.      Pembebanan biaya dalam proses penjadualan kembali adalah biaya riil;
3.      Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Ketentuan PPAP Murabahah

Ketentuan Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah sebagai berikut:
1.      Pencadangan boleh dilakukan oleh LKS.
2.      Dana yang digunakan untuk pencadangan diambil dari bagian keuntungan yang menjadi hak LKS sehingga tidak merugikan nasabah.
3.      Dalam perhitungan pajak, LKS boleh mencadangkan dari seluruh keuntungan.
4.      Dalam kaitan dengan pembagian keuntungan, pencadangan hanya boleh berasal dari bagian keuntungan yang menjadi hak LKS.

Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar

LKS boleh melakukan penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
1.      Objek murabahah dan atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati;
2.      Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
3.      Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah;
4.      Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah;
5.      Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka LKS dapat membebaskannya.

Pola Arus Kas pada Murabahah

Pola arus kas pada murabahah adalah dengan :
1.      Al-bai’ naqdan wal murabahah muajjal, bayar cicilan.
2.      Al-bai’ naqdan wal murabahah mu’ajjal, bayar lump-sum di akhir.

Potongan Pelunasan pada Murabahah

Ketentuan potongan pelunasan pada murabahah adalah sebagai berikut:
1.      Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad;
2.      Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS

Potongan Tagihan Murabahah

Ketentuan potongan tagihan murabahah adalah sebagai berikut:
1.      LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam transaksi (akad) murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan/atau nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
2.      Besar potongan diserahkan pada kebijakan LKS.
3.      Pemberian potongan tidak boleh diperjanjikan dalam akad.

Sanksi pada Murabahah

Ketentuan sanksi dalam murabahah adalah sebagai berikut:
1.      Sanksi yang dimaksud adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
2.      Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi
3.      Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar utangnya boleh dikenakan sanksi.
4.      Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
5.      Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
6.      Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

Sumber Dana Murabahah

Berdasarkan sumber dana yang digunakan, pembiayaan murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok:
1.      Pembiayaan murabahah yang didanai dengan URIA (Unrestricted Investment Account = investasi tidak terikat);
2.      Pembiayaan murabahah yang didanai dengan RIA (Restricted Investment Account = investasi terikat);
3.      Pembiayaan murabahah yang didanai dengan Modal Bank.

Uang Muka dalam Murabahah

Ketentuan uang muka dalam murabahah adalah sebagai berikut:
1.      Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.
2.      Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
3.      Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.
4.      Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah.
5.      Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.

Murabahah dengan Pesanan

Murabahah dengan Pesanan adalah Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya (bank dapat meminta uang muka pembelian kepada nasabah).
Dalam kasus jual beli biasa, misalnya seseorang ingin membeli barang tertentu dengan spesifikasi tertentu, sedangkan barang tersebut belum ada pada saat pemesanan, si penjual akan mencari dan membeli barang yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada si pemesan.
Contoh mudahnya, si fulan ingin membeli mobil dengan perlengkapan tertentu yang harus dicari, dibeli, dan dipasang pada mobil pesanannya oleh diler mobil. Transaksi murabahah melalui pesanan ini adalah sah dalam fikih Islam, antara lain dikatakan oleh Imam Muhammad ibnul-Hasan Asy- Syaibani, Imam syafi’i, dan Imam Ja’far ash-Shiddiq.
Dalam murabahah melalui pesanan ini, si penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi ketika ijab-kabul. Hal ini sekadar untuk menunjukkan bukti keseriusan si pembeli. Bila kemudian si penjual telah membeli dan memasang berbagai perlengkapan di mobil pesanannya, sedangkan si pembeli membatalkannya, hamish ghadiya ini dapat digunakan untuk menutup kerugian si diler mobil.
Bila jumlah hamish ghadiyah-nya lebih kecil dibandingkan jumlah kerusakan yang harus ditanggung oleh si penjual, penjual dapat meminta kekurangannya. Sebaliknya, bila berlebih, si pembeli berhak atas kelebihan itu. Dalam murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya.

 

 

Beda antara Jual Beli dan Bunga

Berikut adalah perbedaan antara jual beli (di bank syariah) dan bunga (di bank konvensional):
A. Jual Beli:
1.      Apabila sudah terjadi ijab qabul harga jual tidak boleh berubah
2.      Tidak ada pemisahan antara harga pokok dan harga keuntungan
3.      Khusus jumlah keuntungan dari Murabahah (Kredit Investasi) harus diketahui oleh nasabah
4.      Fasilitas pembiayaan diberikan dalam bentuk barang bukan uang. Transaksi jual beli barang, bank sebagai penjual
5.      Dana pembelian barang sesuai dengan nilai harga barang
6.      Apabila wanprestasi, tidak dikenakan penalti (bunga berbunga), melainkan denda yang bersifat sosial positif serta dalam bentuk nominal bukan persentase
7.      Apabila terjadi pembiayaan macet, dialihkan menjadi penyertaan (konversi ke musyarakah atau mudharabah)
8.      Akibat pembiayaan macet, harta boleh disita namun hanya mengambil haknya saja.
B. Bunga:
1.      Interest Rate tergantung situasi pasar
2.      Ada perbedaan antara harga pokok dan margin
3.      Keuntungan dari pemberian Kredit Investasi tidak diketahui oleh nasabah
4.      Fasilitas kredit diberikan dalam bentuk uang sehingga dana bebas digunakan nasabah (bisa terjadi penyimpangan/side streaming)
5.      Dana kredit yang diberikan tidak 100% murni
6.      Umumnya dikenakan penalty (bunga berbunga), dikenakan dalam bentuk persentase dari sisa outstanding
7.      Kredit macet, dapat di tinjau kembali dan dimungkinkan terjadinya plafondering
8.      Semua jaminan disita dan hasil pendapatan diambil oleh bank, tidak ada penuntutan kembali sisa atau kelebihan hasil penjualan.

 

 

Sale and Lease Back

Sale and Lease Back adalah jual beli suatu aset yang kemudian pembeli menyewakan aset tersebut kepada penjual.
Berikut ini ada beberapa ketentuan khusus Sale and Lease Back, yaitu:
1.      Akad yang digunakan adalah bai’ dan ijarah yang dilaksanakan secara terpisah.
2.      Dalam akad Bai’, pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual kembali kepadanya aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
3.      Akad ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset yang akan dijadikan sebagai objek ijarah.
4.      Objek ijarah adalah barang yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis.
5.      Rukun dan syarat ijarah dalam fatwa Sale and Lease Back ini harus memperhatikan substansi ketentuan terkait dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
6.      Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad
7.      Biaya-biaya yang timbul dalam pemeliharaan Objek Sale and Lease Back diatur dalam akad.

Konversi Akad pada Murabahah

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh melakukan konversi dengan membuat akad baru bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, tetapi ia masih prospektif, dengan ketentuan:
a.      Akad murabahah dihentikan dengan cara:
1.      Objek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;
2.      Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
3.      Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka kelebihan itu dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah;
4.      Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah.
b.      LKS dan nasabah eks-murabahah tersebut dapat membuat akad baru dengan akad:
1.      Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut di atas dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik;
2.      Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh);
3.      Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.

Pembebanan Biaya pada Murabahah (menurut empat mazhab)

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut.
Misalnya, ulama mazhab Maliki membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait dengan transaksi jual beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang itu.
Ulama mazhab Syafi’i membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu pula biaya- biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.
Ulama mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual.
Ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna.
Keempat mazhab juga membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan pembebanannya, sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkannya. Mazhab yang empat sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan dengan hal-hal yang berguna.
*  SALAM

Definisi Salam

Secara etimologi, salam artinya salaf (pendahuluan).
Secara terminologi (ta’rif) muamalah salam adalah: Penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut masih dalam tanggungan penjual, yang syarat-syarat tersebut di antaranya adalah mendahulukan pembayaraan pada waktu di akad majlis (akad disepakati).
Teknis Perbankan: Salam adalah akad jual beli suatu barang (komoditi) yang harganya dibayar dengan segera, sedang barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati.

Aplikasi Salam

Pembiayaan salam diterapkan untuk:
1.      Pembiayaan Modal Kerja, misalnya untuk modal kerja usaha pertanian, peternakan atau industri yang menghasilkan barang-barang konsumsi.
2.      Pembiayaan Investasi, misalnya untuk pengadaan barang-barang modal, seperti mesin-mesin dan sebagainya.

Ketentuan Barang pada Salam

Ketentuan tentang barang pada akad salam adalah sebagai berikut:
1.      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang.
2.      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3.      Penyerahannya dilakukan kemudian.
4.      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6.      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.


Pembatalan Kontrak pada Salam

Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.

Pembayaran pada Salam

Ketentuan pembayaran pada akad salam adalah sebagai berikut:
1.      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2.      Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3.      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.

Penyediaan Barang pada Akad Salam

Ketentuan mengenai penyerahan atau penyediaan barang pada akad pembiayaan salam adalah sebagai berikut:
1.      Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan, bank memiliki pilihan untuk:
a.       membatalkan (mem-fasakh-kan) akad dan meminta pengembalian dana hak bank;
b.      menunggu penyerahan barang tersedia;
c.       meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula;
2.      Dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada bank dengan kualitas yang lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan antara bank dengan nasabah;
3.      Dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada bank dengan kualitas yang lebih rendah dan bank dengan sukarela menerimanya, nasabah tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount).

Syarat pada Akad Salam

Syarat pembiayaan salam adalah sebagai berikut:
1        Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
2        Pembayaran harga oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan secara penuh pada saat akad disepakati;
3        Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan kewajiban nasabah kepada Bank;
4        Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan;
5        Bank sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum diterima;
6        Dalam rangka meyakinkan bahwa penjual dapat menyerahkan barang sesuai kesepakatan maka Bank dapat meminta jaminan pihak ketiga sesuai ketentuan yang berlaku;
7        Bank hanya dapat memperoleh keuntungan atau kerugian pada saat barang yang dibeli Bank telah dijual kepada pihak lain, kecuali terdapat perubahan harga pasar terhadap harga perolehan, sebelum barang dijual kepada pihak lain.

Tujuan Penggunaan Akad Salam

Produk salam ini diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian atau peternakan atau perkebunan. Menurut Ibn Qudamah, “Karena orang-orang mempunyai kebutuhan akan salam dan karena petani, pekebun, dan peternak memerlukan uang untuk biaya-biaya hidup mereka dan melakukan pengeluaran atas usaha mereka agar mendatangkan hasil, sehingga mereka menghadapi kebutuhan keuangan”. Salam-lah sebagai salah satu cara bagi mereka sehingga mereka bisa mengambil manfaat.

Definisi Salam Paralel

Salam Paralel adalah suatu transaksi dengan Bank melakukan dua akad salam dalam waktu yang sama. Dalam akad salam pertama, Bank (selaku muslim) melakukan pembelian suatu barang kepada pihak penyedia barang (muslam ilaihi) dengan pembayaran di muka dan pada akad salam kedua, Bank (selaku muslam ilaihi) menjual lagi kepada pihak lain (muslim) dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama.
Pelaksanaan kewajiban Bank selaku muslam ilaih (penjual) dalam akad salam kedua tidak tegantung pada akad salam yang pertama.

Syarat Salam Paralel

Syarat yang harus dipenuhi pada salam paralel adalah sebagai berikut:
1        Bank sebagai pembeli dalam akad salam dapat membuat akad salam paralel dengan pihak lainnya dengan Bank bertindak sebagai penjual;
2        kewajiban dan hak dalam kedua akad salam tersebut harus terpisah;
3        Pelaksanaan kewajiban salah satu akad salam tidak boleh tergantung pada akad salam lainnya;
4        Bank yang bertindak sebagai penjual dalam akad salam parallel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam akad salam tidak memenuhi akad salam;
5        Bank menjual barang kepada nasabah pemesan dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
6        pembayaran harga oleh nasabah kepada bank dilakukan secara penuh pada saat akad disepakati;
7        dalam hal pembayaran harga oleh nasabah kepada bank dilakukan secara angsuran, hal itu wajib dilakukan dengan akad murabahah;
8        pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk pembebasan kewajiban Bank kepada nasabah;
9        alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan;
10    nasabah sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum diterima;
11    dalam rangka meyakinkan Bank dapat menyerahkan barang sesuai kesepakatan, nasabah dapat meminta jaminan pihak ketiga sesuai ketentuan yang berlaku.

Muslam, Muslam Fih, Muslam Alaih

Muslam Pembeli adalah termasuk salah satu rukun yang harus ada dalam transaksi jual beli salam.Aplikasi dalam lebaga keuangan syariah dijalankan oleh pihak nasabah yang memesan barang ke bank, atau pihak bank yang memesan barang ke supplier, jika yang terjadi adalah salam paralel.
Muslam fihi; Barang yang dipesan : adalah Termasuk salah satu rukun yang harus ada dalam transaksi jual beli salam.
Syarat muslam fihi dalam transaksi jual beli salam adalah harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang, harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut, penyerahan barang tersebut dilakukan pada kemudian hari, waktu dan tempat penyerahan barang harus jelas.
Muslam Ilaih; Penjual : adalah Pihak penjual dalam akad jual beli salam. Termasuk salah satu rukun yang harus ada dalam transaksi jual beli salam. Fungsi ini bisa dilakukan oleh pihak bank syariah yang menjual barang ke nasabah dengan/melalui pemesanan.


*  ISTISNA

Definisi Istisna

Istishna’; Berarti minta dibuatkan.
Secara terminologi muamalah (ta’rif) berarti: akad jual beli di mana shanni’ (produsen) ditugaskan untuk membuat suatu barang (pesanan) oleh mustashni’ (pemesan).
Menurut Jumhur ulama, istishna’ sama dengan salam, yaitu dari segi objek pesanannya, harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus.
Perbedaannya hanya pada sistem pembayarannya, yaitu salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedangkan Istishna’ bisa di awal, di tengah, atau di akhir pesanan.
Teknis Perbankan: Istishna’ adalah akad jual beli barang berdasarkan pesanan antara nasabah sebagai pemesan (mustashni’) dan bank dengan kriteria tertentu seperti jenis, tipe atau model, kualitas dan jumlahnya.
Bank akan membelikan barang pesanan nasabah (mustashni’) tersebut kepada pemasok (shanni’) dengan kriteria yang sesuai. Harga, cara pembayaran dan jangka waktu penyerahan barang pesanan tersebut disepakati bersama. Apabila pemesan (mustashni’) mengizinkan pemasok (shanni’) untuk meminta pihak ketiga (subpemasok) membuat barang pesanan tersebut, transaksi ini disebut istishna’ paralel.
Pembiayaan Istishna’ diterapkan untuk:
1        Pembiayaan Modal Kerja, misalnya untuk modal kerja industri barang-barang konsumsi, termasuk garmen, sepatu, dan sebagainya.
2        Pembiayaan Investasi, misalnya untuk pengadaan barang-barang modal, seperti mesin-mesin dan sebagainya.
3        Pembiayaan Konstruksi.

 

 

Ketentuan Barang pada Istishna’

Ketentuan mengenai barang pada akad pembiayaan istishna’ adalah sebagai berikut:
1        Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang.
2        Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3        Penyerahannya dilakukan kemudian.
4        Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5        Pembeli (pembeli, mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6        Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7        Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Penyediaan Barang pada Istishna’

Ketentuan penyediaan dan penyerahan barang dalam akad pembiayaan istishna’ adalah sebagai berikut:
1        Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan, nasabah memiliki pilihan untuk:
a.       membatalkan (mem-fasakh-kan) akad dan meminta pengembalian dana kepada bank;
b.      menunggu penyerahan barang tersedia;
c.       meminta kepada bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula;
2        Dalam hal bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih tinggi, bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan antara nasabah dan bank;
3        Dalam hal bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, nasabah tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount).

Tujuan Akad Istishna’

Tujuan Akad Istishna’ dipergunakan oleh bank untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan permodalan/pembiayaan bagi produsen/developer (konstruksi) dengan cara melakukan pemesanan pembelian dengan pembayaran di muka secara bertahap.

Istishna’ Ma’al Ijarah Wal Murabahah Mu’ajjal

Akad IstishnaMa’al Ijarah Wal Murabahah Mu’ajjal ini adalah akad murakab yang terdiri atas tiga jenis akad tunggal, yaitu :
a.       akad istishna
b.      ijarah,
c.       murabah mu’ajjal.
Misalnya, nasabah membutuhkan suatu barang pada masa yang akan datang. Nasabah menghendaki barang sudah dimiliki sebelum periode z berakhir. Untuk pengadaan barang tersebut bank dapat membayarkannya secara angsuran. Nasabah tidak mampu membayar secara tunai di awal namun mampu membayar secara cicilan sebesar Rpxxx, – setiap bulan selama z periode. Artinya, pelunasan barang baru dapat diselesaikan dengan cicilan sebesar Rpxxx, – setelah periode z berakhir. Maka, akan digunakan akad berikut:
1        Akad I: Istishna’:
a.       Pelaku: Nasabah, bertindak sebagai penjual barang yang akan menyerahkan barang sebelum periode z berakhir. Bank, bertindak sebagai pembeli barang;
b.      Transaksi: Bank melakukan kontrak istishna’ dengan pihak nasabah (penyedia barang) dengan pembayaran secara angsuran dan nasabah akan menyerahkan barang sebelum periode z berakhir. Pembayaran sudah akan lunas sebelum barang diserahkan.
2        Akad II: Ijarah:
a.       Pelaku: Bank, bertindak sebagai pihak upahan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Dengan demikian, bank akan mendapatkan ujrah atau upah dari nasabah sampai dengan diserahkanya barang kepada nasabah. Pihak nasabah bertindak sebagai penyewa jasa bank untuk mencarikan barang yang dipesan. Nasabah akan memberikan upah kepada bank;
b.      Transaksi: Bank melakukan kontrak ijarah dengan pihak nasabah sampai dengan didapatkanya barang tersebut oleh nasabah. Dalam kotrak ijarah ini bank akan mendapatkan ujrah atau ijarah fee sesuai dengan kesepakatan. Bank bertugas sebagai pihak upahan yang bertugas mencarikan barang yang dikehendaki oleh nasabah. Dalam hal ini bank akan mencarikan barang kepihak ketiga. Ujrah akan diberikan setiap bulan.

3        Akad III: Murabahah muajjal
a.       Pelaku: Pihak Bank, bertindak sebagai penjual barang yang telah dipesan oleh nasabah. Pihak nasabah, bertindak sebagai pembeli barang;
b.      Transaksi: Bank melakukan kontrak murabahah muajjal dengan nasabah, dengan barang akan didapatkan di awal kontrak murabah muajjal sedangkan pembayaran dilakukan secara cicilan pada kemudian hari sampai dengan berakhirnya periode kontrak. Kontrak murabahah muajjal ini berlaku setelah kontrak ijarah dengan nasabah berakhir.

Istishna’ Paralel

IstishnaParalel adalah sebuah bentuk akad Istishna’ antara nasabah dan bank syariah, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, bank syariah memerlukan pihak lain sebagai Shani’.
Istishna’ parallel dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1        Bank sebagai penjual dalam akad istishna’ dapat membuat akad istishna’ paralel dengan pihak lainnya dengan Bank bertindak sebagai pembeli;
2        kewajiban dan hak dalam kedua akad istishna’ tersebut harus terpisah;
3        pelaksanaan kewajiban salah satu akad Istishna’ tidak boleh tergantung pada akad istishna’ paralel atau sebaliknya;
4        Jika bank yang bertindak sebagai pembeli dalam akad istishna’ paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam akad istishna’ tidak memenuhi akad istishna’;
5        Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan secara proporsional
6        Bank selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC (margin during construction) dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah;
7        Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna’.
8        Ketentuan istishna’ berlaku pula pada istishna’ paralel.

Mustashni’

Mustashni’ adalah Orang atau pihak yang melakukan pembelian dalam akad istishna’. Termasuk slaah satu rukun yang harus ada dalam transaksi jual beli istishna

*  MUDHARABAH

Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Muqayyadah adalah akad mudharabah dengan pembatasan (restricted investment). Bentuk kerja sama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Syarat mudharabah muqayyadah adalah sebagai berikut:
a.       Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent) kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor;
b.      jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan bank;
c.       Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d.      pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e.       dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, barang yang diserahkan harus dinilai dengan harga perolehan atau harga pasar;
f.        Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak;
g.       pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati antara investor dan nasabah;
h.       Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung risiko kerugian usaha yang dibiayai;
i.         investor sebagai pemilik dana mudharabah muqayyadah menanggung seluruh risiko kerugian kegiatan usaha kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha.

Mudharabah Musyarakah

Mudharabah Musytarakah adalah salah satu bentuk akad mudharabah dengan pengelola dana (mudharib) turut menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi, diperlukan karena mengandung unsur kemudahan dalam pengelolaannya serta dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi para pihak.
Ketentuan akad dalam Produk Penghimpunan Dana adalah sebagai berikut:
a.       Akad yang digunakan adalah akad mudharabah musytarakah, yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah.
b.      Bank syariah sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama nasabah.
c.       Bank syariah sebagai pihak yang menyertakan dananya (musytarik) memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal atau yang disertakan.
d.      Bagian keuntungan sesudah diambil oleh bank syariah sebagai musytarik dibagi antara bank syariah sebagai mudharib dengan nasabah dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.
e.       Apabila terjadi kerugian, bank syariah sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.
Ketentuan akad dalam Produk Penyaluran Dana adalah sebagai berikut:
a.       Akad yang digunakan adalah akad mudharabah musytarakah, yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan akad musyarakah.
b.      Nasabah sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama bank syariah.
c.       Nasabah sebagai pihak yang menyertakan modal atau dananya (musytarik) memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal yang disertakan.
d.      Bagian keuntungan sesudah diambil oleh nasabah sebagai musytarik dibagi antara nasabah sebagai mudharib dan bank syariah sesuai dengan nisbah yang disepakati.
e.       Apabila terjadi kerugian, nasabah sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.

Mudharabah Muthlaqah

Mudharabah Muthlaqah adalah akad mudharabah tanpa pembatasan; Bentuk kerja sama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Dalam fikih sering kali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kewenangan penuh.

Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah

Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah adalah sebagai berikut:
1        Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2        Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3        Modal adalah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.       Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.      Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.       Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4        Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.       Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b.      Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.       Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apa pun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5        Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan
b.      Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.       Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.

Alokasi Pembiayaan Mudharabah

Pembiayaan mudharabah diterapkan untuk :
1        Pembiayaan Modal Kerja, yaitu dialokasikan untuk usaha atau perusahaan yang bergerak dalam Bidang konstruksi, industri, perdagangan dan jasa
2        Pembiayaan Investasi, yaitu dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang industri.

Ketentuan Hukum Pembiayaan Mudharabah

Ketentuan Hukum Pembiayaan Mudharabah adalah sebagai berikut:
1        Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2        Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian pada masadepan yang belum tentu terjadi.
3        Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4        Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Manfaat Pembiayaan Mudharabah

Manfaat atas pembiayaan bagi hasil adalah sebagai berikut:
1        Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil lebih besar pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2        Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3        Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4        Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang nyata dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5        Prinsip bagi hasil ini berbeda dgn prinsip bunga tetap dengan bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Nisbah Keuntungan Mudharabah

Faktor nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah.
Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

Pelaku dalam Mudharabah

Rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual beli ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, akad mudharabah tidak ada.

Persetujuan dalam Mudharabah

Faktor persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraadhin minkum (sama-sama rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengontribusikan kerja.

 

 

 

Syarat Pengajuan Pembiayaan Mudharabah

Berikut adalah contoh syarat pengajuan pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:
A. Profil Nasabah:
1.      Warga Negara Indonesia;
2.      Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) & Kartu Keluarga (KK);
3.      Usia minimal 21 tahun (atau sudah) maks 55 tahun (FIE);
4.      Memiliki penghasilan FIE (Fixed Income Earner) dibuktikan dengan Surat Keterangan atau NFIE (Non-Fixed Income Earner) dibuktikan dengan Rekening Koran atau Buku Penjualan.
5.      Pengalaman kerja minimal 2 tahun (FIE) dan minimal 3 tahun (NFIE).
B. Dokumen usaha/kerja;
1.      FIE : KTP atau Paspor, KK, Slip gaji dan surat keterangan penghasilan, NPWP Pribadi (> 50 juta), Fotokopi Rekening tabungan,Rekening giro 3 bulan terakhir, PBB;
2.      NFIE: KTP atau Pasport, KK, Akta pendirian perusahaan, SIUP, TDP, NPWP, Fotokopi izin praktik/usaha bagi profesional (dokter, lawyer, konsultan, auditor atau lainnya), Rekap penghasilan per bulan,Fotokopi rekening tabungan atau giro 3 bulan terakhir, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Mudharib

Mudharib; Pengusaha adalah pengelola dana (modal)
Dalam akad mudharabah; dalam mazhab Syafi’i disebut amil. Mudharib merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam praktik mudharabah. Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, pihak bank bisa bertindak selaku mudharib tatkala melakukan penghimpunan dana, atau pihak nasabah bertindak selaku mudharib tatkala mengelola dana dari bank (entrepreneur).

Mudharabah Wal Murabahah

Mudharabah Wal Murabahah adalah kombinasi dua akad yang dilakukan ketika peristiwa mudharabah diberikan untuk suatu institusi dan institusi tersebut meneruskannya ke anggota.
Contoh Koperasi yang mendapatkan pembiayaan dari Bank Ramai Syariah dan meneruskannya ke anggota koperasi.

Mudharabah Muqayyadah off-Balance Sheet

Dalam skema ini, aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan (yang dalam bank konvensional disebut debitur). Di sini, bank syariah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah secara off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja. Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah pembiayaan. Bank hanya memperoleh arranger fee. Disebut mudharabah karena skemanya bagi hasil, muqayyadah karena ada pembatasan, yaitu hanya untuk pelaksana usaha tertentu, dan off balance-sheet karena bank tidak dicatat dalam neraca bank.

Unobservable Cash Flow pada Mudharabah

Unobservable Cash Flow pada Mudharabah:
Kovenan yang dapat diterapkan pada mudharabah berupa:
1.      Monitoring Secara Acak. Inspeksi mendadak (sidak) sempat menjadi istilah populer di Indonesia yang menunjukkan keektifan metode ini dalam mengatasi adanya arus kas yang tidak masuk ke kas negara. Dalam konteks pembiayaan mudharabah, ada jenis bisnis yang arus kasnya tidak dapat dilihat secara transparan. Bila banyak dari arus kas bisnis mudharib yang tidak dapat diketahui secara transparan oleh pemilik dana, maka besarlah dorongan mudharib untuk berperilaku menyimpang. Pembiayaan mudharabah pada supermarket yang seluruh transaksinya menggunakan cash-register tentu memerlukan kovenan yang berbeda dari pembiayaan mudharabah pada toko yang transaksinya tidak menggunakan cash register. Monitoring secara acak dimaksudkan untuk mengambil sampel ada tidaknya penyimpangan arus kas.
Cara ini biasanya diterapkan pada:
a.       bisnis yang skala usahanya tidak cukup besar untuk dilakukan monitoring secara periodik;
b.      bisnis yang musiman atau berjangka pendek;
2.      Monitoring Secara Periodik. Monitoring secara periodik tentu saja lebih mahal biayanya dibandingkan monitoring secara acak, meskipun tujuannya sama. Dalam metode ini, mudharib didorong untuk menyiapkan laporan periodik atas bisnis yang dibiayai oleh dana mudharabah.
Cara ini biasanya diterapkan pada:
a.       bisnis yang skala usahanya cukup besar untuk dilakukan monitoring secara periodik;
b.      bisnis yang kontinyu atau berjangka panjang;
3.      Laporan Keuangan yang diaudit. Cara monitoring yang lebih kompleks adalah dengan melibatkan pihak ketiga sebagai auditor. Bila pada metode monitoring secara berkala mudharib dituntut untuk memberikan laporan periodik, pada metode ini laporan tersebut akan diperiksa kebenarannya oleh pihak ketiga (auditor). Sehingga si pemilik dana benar-benar yakin bahwa laporan yang disampaikan tersebut benar adanya.

Risiko Pembiayaan Mudharabah

Risiko pembiayaan bagi hasil pada umumnya sama dengan risiko kredit biasa, ditambah:
1.      Penyembunyian keuntungan oleh nasabah yang tidak jujur.
2.      Ketidakmampuan nasabah mengelola keuangan dan kelemahan sistem informasi keuangan.
3.      Kelalaian dalam membayar bagi hasil (disiplin yang rendah).
4.      Sistem monitoring perkembangan usaha lemah.

Penerapan Mudharabah dalam Perbankan Syariah

Sejauh ini, skema mudharabah berlaku antara dua pihak saja secara langsung, yakni shahib al-mal berhubungan langsung dengan mudharib. Skema ini adalah skema standar yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab klasik fikih Islam. Dan inilah sesungguhnya praktik mudharabah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya.
Dalam kasus ini, yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahib al-mal (sebagai surplus unit) dan mudharib (sebagai deficit unit). Dalam direct financing seperti ini, peran bank sebagai lembaga perantara (intermediary) tidak ada.
Mudharabah klasik seperti ini memiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-mal dan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya (amanah). Shahib almal hanya mau menyerahkan modalnya kepada orang yang ia kenal dengan baik—baik profesionalitas maupun karakternya.
Modus mudharabah seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa hal:
1.      sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, di mana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung dan personal.
2.      banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan shahib almal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu.
3.      lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkannya.
Untuk mengatasi hal tersebut, khususnya masalah pertama dan kedua, maka ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah, yakni mudharabah yang melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang mempertemukan shahib al-mal dengan mudharib. Jadi, terjadi evolusi dari konsep direct financing menjadi indirect financing.

Operating Risk pada Mudharabah

Operating Risk pada Mudharabah:
Kovenan yang dapat diterapkan pada mudharabah berupa:
1.      Penetapan Rasio Maksimal Fixed Aset terhadap Total Aset. Hal ini dimaksudkan agar dana mudharabah tidak digunakan untuk investasi pada fixed aset secara berlebihan. Misalnya ditentukan rasio maksimal sebesar 20%.
Investasi berlebihan pada fixed aset akan berarti:
a.       Besarnya biaya depresiasi, yang akan mendorong besarnya COGS (harga pokok penjualan). Ini akan menyebabkan produk yang dihasilkan kurang kompetitif.
b.      Berkurangnya ketersediaan dana modal kerja, padahal tanpa modal kerja yang cukup segala investasi fixed asset yang telah dilakukan tidak dapat produktif.
2.      Penetapan Rasio Maksimal Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi. Hal ini dimaksudkan agar mudharib menjalankan operasi bisnisnya secara efisien. Bila rasio ini mencapai 100%, berarti bisnis mudharib tidak menghasilkan keuntungan operasional. Nah, tentu tidak ada pemilik dana yang mau membiayai bisnis seperti ini, karena tidak ada yang dapat dibagi hasilkan. Bila rasio ini mencapai 80%, berarti ada margin keuntungan operasional sebesar 20%; keuntungan inilah yang dapat dibagi hasilkan dengan pemilik dana. Untuk memastikan agar mudharib menjalankan bisnis mudharabah nya dengan efisien, dapat ditetapkan syarat agar mudharib harus selalu menjaga rasio ini maksimal, misalnya 80%.

Noncontrollable Cost pada Mudharabah

Noncontrollable Cost pada Mudharabah;
Kovenan yang dapat diterapkan pada mudharabah berupa:
1.      Revenue sharing. Dalam bisnis yang biaya tidak terduganya besar, tentu hal ini akan menjadi sumber perselisihan antara pemilik dana dan mudharib tentang siapa yang harus menanggung biaya-biaya tersebut. Dalam proposal yang diajukan oleh mudharib, biaya tersebut terlihat kecil sehingga pemilik dana mengharapkan keuntungan yang besar dari bisnis mudharib tersebut, yang juga berati bagi hasil yang besar bagi pemilik dana. Namun, timbulnya biaya tidak terduga yang sebelumnya tidak dikomunikasikan oleh mudharib kepada pemilik dana, tentunya akan mengakibatkan margin keuntungan yang kecil sehingga bagi hasilnya pun kecil.
Munculnya non-controllable cost ini dapat disebabkan oleh:
a.       mudharib mengetahui bahwa nature of business-nya mengandung noncontrollable cost yang tinggi namun hal tersebut tidak disampaikan secara transparan kepada pemilik dana.
b.      mudharib mengetahui bahwa nature of business-nya mengandung noncontrollable cost yang tinggi, dan mudharib secara tranparan menyampaikan hal ini kepada pemilik dana. Dalam hal mudharib telah mentyampaikan secara transparan, tanggung jawab sepenuhnya berada pada pemilik dana, karena berarti pemilik adan sudah mengetahui risiko bisnis (business risk) yang dihadapinya.
Dalam hal mudharib tidak menyampaikan secara transaparan, maka untuk menghindari perselisihan mengenai siapa yang harus menanggung biaya tidak terduga ini
pemilik dana dapat menetapkan kovenan bahwa:
ü      biaya-biaya yang tidak terduga tersebut sepenuhnya menjadi tangung jawab mudharib;
ü       seluruh biaya ditanggung oleh mudharib, atau dengan kata lain, yang dibagi hasilkan adalah revenue.
2.      Penetapan minimal profit margin. Ada kalanya mudharib lebih mementingkan volume penjualan yang besar dengan mengorbankan tingkat profit marginnya. Bila ia melakukan bisnis tersebut dengan modalnya sendiri, tentu hal itu sah-sah saja. Namun, bila ia melakukan bisnis tersebut dengan modal orang lain, dalam hal ini pemilik dana dalam akad mudharabah, tentu ini dapat menzalimi pemilik dana. Atau bayangkan suatu bisnis yang berkembang dengan cepat, didukung oleh biaya promosi yang besar. Volume usahanya meningkat tajam, ia pun melakukan ekspansi dengan membuka cabang-cabang baru. Jelas usaha mudharib ini sehat dan maju. Namun, promosi yang besar dan ekspansi ini telah menyebabkan keuntungan bisnis mudharib sangat kecil sehingga bagi hasil yang dibayarkan kepada pemilik dana juga sangat kecil. Tentu ini zalim. Untuk menghindari hal seperti itu, pemilik dana dapat menetapkan kovenan minimal tingkat profit margin dari setiap barang/jasa yang dijual oleh mudharib yang dibiayai oleh modal pemilik dana.

Incentive-Compatible Constraints pada Mudharabah

Ciri khas pembiayaan mudharabah adalah menuntut saling percaya yang tinggi antarnasabah dengan bank. Kenyataan ini menjadikan pembiayaan mudharabah sebagai pembiayaan yang berisiko tinggi, karena bank akan selalu menghadapi permasalahan assymmetric information dan moral hazard.
Bank syariah tidak dapat menyalurkan begitu saja sejumlah dana kepada mudharib atas dasar kepercayaan, karena selalu ada risiko bahwa pembiayaan yang telah diberikan kepada mudharib tidak dipergunakan sebagai mana mestinya untuk memaksimalkan keuntungan kedua belah pihak. Begitu dana dikelola oleh mudharib, akses informasi bank terhadap usaha mudharib menjadi terbatas.
Dengan demikian, terjadi assymmetric information dengan mudharib mengetahui informasi-informasi yang tidak diketahui oleh bank. Pada saat yang sama timbul moral hazard dari si mudharib, yakni mudharib melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan mudharib dan merugikan shahib al-mal (dalam hal ini bank syariah dan nasabah pemilik dana pihak ketiga).
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko-risiko tersebut, bank syariah dapat menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib. Batasanbatasan ini dikenal sebagai incetive-compatible constraints. Melalui incetivecompatible constraints ini, mudharib secara sistematis “dipaksa” untuk berperilaku memaksimalkan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi mudharib itu sendiri maupun bagi shahib al-mal.
Pada dasarnya, ada empat panduan umum bagi incentive-compatible constraints, yakni:
1.      Menetapkan kovenan (syarat) agar porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar dan/atau mengenakan jaminan (higher stake in net worth and/or collateral).
2.      Menetapkan kovenan (syarat) agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebih rendah (lower operating risks).
3.      Menetapkan kovenan (syarat) agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan (lower fraction of unobservable cash flow).
4.      Menetapkan kovenan (syarat) agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah (lower fraction of non-controllable costs).

Higher Stake in Net Worth pada Mudharabah

Higher Stake in Net Worth pada Mudharabah: Penetapan kovenan (syarat) pada akad mudharabah agar porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar dan/atau mengenakan jaminan.
Dalam praktiknya, kovenan yang dapat diterapkan berupa:
1.      Penetapan nilai maksimal rasio utang terhadap modal. Bila porsi modal mudharib dalam suatu usaha relatif tinggi, maka insentifnya untuk berlaku tidak jujur akan berkurang dengan signifikan, karena ia juga akan menanggung kerugian atas tindakannya itu.
2.      Penetapan agunan berupa fixed aset. Pengenaan jaminan juga akan mencegah mudharib melakukan penyelewengan karena jaminan yang sudah diberikannya itu menjadi harga dari penyelewengan perilaku nya (character risk).
3.      Penggunaan Pihak Penjamin. Sering kali bank sebagai pemilik dana tidak mengenal dekat karakter calon mudharib. Menghadapi situasi ini, bank dapat saja meminta agar calon mudharib menyediakan pihak penjamin yang mengenal dekat karakter calon mudharib, dan bersedia menjadi penjamin atas character risk calon mudharib.
4.      Penggunaan Pihak Pengambil Alih Utang. Dalam beberapa kasus, pihak penjamin bersedia mengambil alih kewajiban calon mudharib bila terjadi kerugian yang disebabkan character risk calon mudharib.

*  Musyarakah

Definisi Musyarakah

Musyarakah;
a.       Musyarakah berasal dari kata Syirkah yang berarti percampuran. Menurut ahli fuqaha musyarakah berarti: “Akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan”;
b.      Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing;
c.       Saling bekerja sama, berkongsi, berserikat, bermitra (cooperation, partnership); Pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha.
Dalam aplikasi perbankan syariah pembiayaan musyarakah digunakan untuk modal kerja dan/atau investasi, dengan dana dari bank merupakan partisipasi modal bank dalam usaha yang dikelola oleh nasabah, dan bank berhak ikut serta dalam mengelola usaha. Kerja sama tersebut bisa berupa modal dan jasa.
Sebagai pelaksana/pengelola usaha boleh berasal dari salah satu anggota penyerta dana atau pihak lain (di luar anggota perkongsian) dan disepakati bersama.

Musyarakah Fil Ribhi

Musyarakah Fil Ribhi adalah bagi hasil (profit sharing), yaitu berbagi keuntungan antara pihak bank syariah dan nasabah; Prinsip utama yang dilakukan oleh bank syariah. Hubungan yang terjalin dalam kerja sama bagi hasil adalah hubungan antara pemilik modal (shahibul mal) dan pekerja (mudharib).

Syarat Musyarakah

Syarat musyarakah adalah sebagai berikut:
a.       Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
b.      nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati;
c.       Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha;
d.      pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e.       dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan;
f.        jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah;
g.       biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan;
h.       pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
i.         Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak;
j.        nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
k.      nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal akad;
l.         pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
m.     pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan nasabah;
n.       pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha; dan
o.      Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan atau kecurangan.

Aplikasi Musyarakah

Musyarakah diterapkan untuk :
1.      Pembiayaan Modal Kerja, yaitu dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi, industri, perdagangan dan jasa
2.      Pembiayaan Investasi, yaitu dialokasikan untuk perusahaan yang bergerak dalam bidang industri.
3.      Pembiayaan secara Sindikasi, baik untuk kepentingan modal kerja maupun investasi.

Kerugian dan Keuntungan pada Musyarakah

Pada akad pembiayaan musyarakah, kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
Ketentuan keuntungan pada akad pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:
1.      Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
2.      Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3.      Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau persentase itu diberikan kepadanya.
4.      Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.

Ijab Qabul pada Musyarakah

Ketentuan ijab qabul pada akad pembiayaan musyarakah adalah bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)
Dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

Kerja – pada Musyarakah

Ketentuan mengenai “kerja” pada akad pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:
1.      artisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2.      Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

Modal – pada Musyarakah

Ketentuan modal pada musyarakah adalah sebagai berikut:
1.      Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri atas aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
2.      Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3.      Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

Objek Akad pada Musyarakah

Objek akad dalam akad pembiayaan musyarakah adalah :
a.       Modal
b.      Kerja
c.       keuntungan dan kerugian.

Tujuan Akad Musyarakah

Akad musyarakah digunakan oleh Bank untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan permodalan bagi nasabah guna menjalankan usaha atau proyek dengan cara melakukan penyertaan modal bagi usaha atau proyek yang bersangkutan.

Pihak yang Berakad pada Musyarakah

Pihak-pihak yang berkontrak pada akad pembiayaan musyarakah harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b.      Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c.       Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d.      Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e.       Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

Definisi Musyarakah Mutanaqishah

Musyarakah Mutanaqishah; descreasing participation, bank syariah yang menyediakan pembiayaan komersial untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan skema secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.

Berikut ini ada beberapa definisi pada penerapan akad musyarakah mutanaqishah:
1.      Musyarakah mutanaqishah adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya;
2.      Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah).
3.      Hishshah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat musya’.
4.      Musya’ adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik.

Ketentuan Akad Musyarakah Mutanaqisah

Berikut ini adalah beberapa ketentuan mengenai musyarakah mutanaqishah:
1.      Akad musyarakah mutanaqishah terdiri atas akad Musyarakah/Syirkah dan Bai’ (jual-beli).
2.      Dalam Musyarakah Mutanaqishah berlaku hukum sebagaimana yang diatur dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, yang para mitranya memiliki hak dan kewajiban, di antaranya: a. Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad. b. Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad. c. Menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
3.      Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah, pihak pertama (syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya.
4.      Jual beli dilaksanakan sesuai kesepakatan.
5.      Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepada syarik lainnya (nasabah).

Ketentuan Khusus pada Musyarakah Mutanaqisah

Berikut ini ada beberapa ketentuan khusus pada Musyarakah mutanaqishah:
1.      Aset musyarakah mutanaqishah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain.
2.      Apabila aset musyarakah menjadi objek ijarah, syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
3.      Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.
4.      Kadar/ukuran bagian/porsi kepemilikan aset musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah), harus jelas dan disepakati dalam akad;
5.      Biaya perolehan aset musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli;

Musyarakah Mutanaqishah dalam Pembiayaan Investasi

Bank syariah memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru.

*  IJARAH

Definisi Ajr (Upah) atau Fee

Ajran (Ujrah) adalah harga sewa atau manfaat sewa, merupakan salah satu dari rukun ijarah.
Ajir adalah orang yang bekerja dengan upah (honor) tertentu.
Ajir Musytarok; Ajir Umum; adalah Orang yang mencari upah untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, tanpa syarat khusus bagi seorang atau beberapa orang tertentu.
Ajr al Mitsli adalah Upah yang sepadan, yaitu harta yang dituntut sebagai kompensasi dalam suatu transaksi ijarah yang sejenisnya pada umumnya.
Ajru wa Adh Dhaman la Yajtami’ani adalah “Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan.” Ganti rugi adalah mengganti dengan nilai barang yang sama apabila barang tersebut ada di pasar atau membayar seharga barang tersebut apabila tidak ada di pasar.

Sale and Lease Back

Sale and Lease Back adalah jual beli suatu aset yang kemudian pembeli menyewakan aset tersebut kepada penjual.


Berikut ini ada beberapa ketentuan khusus Sale and Lease Back, yaitu:
1.      Akad yang digunakan adalah bai’ dan ijarah yang dilaksanakan secara terpisah.
2.      Dalam akad Bai’, pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual kembali kepadanya aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
3.      Akad ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset yang akan dijadikan sebagai objek ijarah.
4.      Objek ijarah adalah barang yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis.
5.      Rukun dan syarat ijarah dalam fatwa Sale and Lease Back ini harus memperhatikan substansi ketentuan terkait dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah
6.      Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
7.      Biaya-biaya yang timbul dalam pemeliharaan Objek Sale and Lease Back diatur dalam akad.

Review Ujrah

Review Ujrah adalah peninjauan kembali terhadap besarnya ujrah dalam akad ijarah antara LKS dan nasabah setelah periode tertentu.
Ketentuan review ujrah adalah sebagai berikut:
1.      Review Ujrah boleh dilakukan antara para pihak yang melakukan akad ijarah apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
a.       Terjadi perubahan periode akad ijarah;
b.      Ada indikasi sangat kuat bahwa bila tidak dilakukan review akan timbul kerugian bagi salah satu pihak
c.       Disepakati oleh kedua belah pihak.
2.      Review atas besaran ujrah setelah periode tertentu:
a.       Ujrah yang telah disepakati untuk suatu periode akad ijarah tidak boleh dinaikkan;
b.      Besaran ujrah boleh ditinjau ulang untuk periode berikutnya dengan cara yang diketahui dengan jelas (formula tertentu) oleh kedua belah pihak;
c.       Peninjauan kembali besaran ujrah setelah jangka waktu tertentu harus disepakati kedua pihak sebelumnya dan disebutkan dalam akad.
d.      Dalam keadaan sewa yang berubah-ubah, sewa untuk periode akad pertama harus dijelaskan jumlahnya. Untuk periode akad berikutnya boleh berdasarkan rumusan yang jelas dengan ketentuan tidak menimbulkan perselisihan.

Ijarah Ain

Ijarah Ain adalah akad sewa-menyewa suatu benda yang halal dalam pandangan syafi’i untuk diambil manfaat dari benda tersebut, namun status barang itu tetap milik utuh pemiliknya.
Contoh; sewa menyewa rumah.

Uang Ijarah dan Cara Pembayarannya

Berikut ini adalah ketentuan uang ijarah dan cara pembayarannya:
1.      Jasa penyewaan dapat berupa uang, surat berharga, dan/atau benda lain berdasarkan kesepakatan.
2.      Jasa penyewaan dapat dibayar dengan atau tanpa uang muka, pembayaran didahulukan, pembayaran setelah objek ijarah selesai digunakan, atau diutang berdasarkan kesepakatan
3.      Uang muka ijarah yang sudah dibayar tidak dapat dikembalikan kecuali ditentukan lain dalam akad.
4.      Uang muka ijarah harus dikembalikan oleh pihak yang menyewakan jika pembatalan ijarah dilakukan oleh pihak yang menyewakan.
5.      Uang muka ijarah tidak harus dikembalikan oleh pihak yang menyewakan jika pembatalan ijarah dilakukan oleh pihak yang akan menyewa.

Tujuan Akad Ijarah

Tujuan Akad Ijarah adalah memberikan fasilitas kepada nasabah yang membutuhkan manfaat atas barang (sewa) dengan pembayaran tangguh dan dengan opsi untuk memiliki pada kemudian hari.

Tipe-Tipe Ijarah

Tipe-Tipe Ijarah:
1.      Dari Segi Manfaat Barang:
a.       Ijarah Murni:
·  al-bai’ wal ijarah: yaitu Bayar di akhir lump-sum, atau Bayar dengan cicilan/mu’ajjal;
·  al Ijarah paralel yaitu Bayar di akhir lump-sum, atau Bayar dengan cicilan/mu’ajjal;
b.      Ijarah Muntahia Bittamlik:
·  al-bai’ wal IMBT;
·  IMBT paralel;
2.      Dari Segi Manfaat Tenaga Kerja:
a.       al-Ijarah wal Ijarah (subkontrak):
·  Bayar di akhir lump-sum;
·  Bayar dengan cicilan/mu’ajjal;
3.      Dari Segi Metode Pembayaran:
a.       Contingent To Performance: Barang dan Tenaga Kerja.

Ijarah dari sisi Teknik Perbankan

Ijarah dari sisi Teknik Perbankan adalah akad antara Bank (Muajjir) dengan nasabah (Musta’jir) untuk menyewa suatu barang/obJek sewa (Ma’jur) milik Bank dan Bank mendapatkan imbalan jasa atas barang yang disewakannya tersebut.

Syarat Pelaksanaan dan Penyelesaian Ijarah

Berikut ini adalah ketentuan pelaksanaan dan penyelesaian ijarah:
1.      Untuk menyelesaikan suatu proses akad ijarah, pihak-pihak yang melakukan akad harus mempunyai kecakapan melakukan perbuatan hukum.
2.      Akad ijarah dapat dilakukan dengan tatap muka maupun jarak jauh.
3.      Pihak yang menyewakan benda haruslah pemilik, wakilnya, atau pengampunya.
4.      Penggunaan benda ijarahan harus dicantumkan dalam akad ijarah.
5.      Jika penggunaan benda ijarahan tidak dinyatakan secara pasti dalam akad, benda ijarahan digunakan berdasarkan aturan umum dan kebiasaan.
6.      Jika salah satu syarat dalam akad ijarah tidak ada, akad itu batal.
7.      Uang ijarah tidak harus dibayar apabila akad ijarahnya batal.
8.      Harga ijarah yang wajar/ujrahal-mitsli adalah harga ijarah yang ditentukan oleh ahli yang berpengalaman dan jujur.

Rukun dan Syarat Ijarah

Rukun dan syarat akad pembiayaan ijarah adalah sebagai berikut:
1.      Pernyataan ijab dan qabul.
2.      Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) terdiri atas :
a.       pemberi sewa (lessor, pemilik aset, LKS),
b.      penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
3.      Objek kontrak: pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
4.      Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
5.      Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).

Pengembalian Objek Ijarah

Ketentuan Pengembalian Objek Ijarah adalah sebagai berikut:
1.      Ijarah berakhir dengan berakhirnya waktu ijarah yang ditetapkan dalam akad.
2.      Cara pengembalian objek ijarah dilakukan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam akad.
3.      Bila cara pengembalian objek ijarah tidak ditentukan dalam akad, pengembalian benda ijarah dilakukan sesuai dengan kebiasaan.

Objek Ijarah

Ketentuan objek ijarah adalah sebagai berikut:
1.      Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.      Manfaat barang harus bias dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3.      Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
4.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
5.      Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6.      Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7.      Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
8.      Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan objek kontrak.
9.      Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat, dan jarak.

Kewajiban Nasabah pada Akad Ijarah

Kewajiban nasabah sebagai penerima sewa dalam akad pembiayaan ijarah adalah sebagai berikut:
a.       Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai kontrak.
b.      Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c.       Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Ijarah Mawsufah Fi-Dzimmah

Ijarah Mawsufah Fi-Dzimmah adalah penerbitan sukuk berdasarkan mekanisme transaksi ijarah atas objek yang masih berada dalam tanggungan/masih dalam tahap konstruksi (forward lease contract).

Kewajiban LKS pada Ijarah

Kewajiban pihak LKS atau bank syariah sebagai pemberi sewa dalam akad pembiayaan ijarah adalah sebagai berikut:
a.       Menyediakan aset yang disewakan.
b.      Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c.       Menjaminan bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.

Kesepakatan Mengenai Harga Sewa pada Ijarah

Kesepakatan Mengenai Harga Sewa pada Ijarah
Misalnya dikatakan, “Saya sewakan mobil ini selama satu bulan dengan harga sewa RpX.” Bila si penyewa ingin memperpanjang masa sewanya, dapat saja harga sewanya berubah. Bahkan yang menyewakan dapat saja meminta harga sewa dua kali lipat dari sebelumnya.
Sebaliknya, si penyewa dapat saja menawar setengah harga sewa sebelumnya, semuanya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak: si penyewa dan yang menyewakan. Namun, dalam periode pertama yang telah disepakati harga sewanya, itulah kesepakatannya.
Mayoritas ulama mengatakan, “Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga bagi harga sewa”. Bagaimana dengan praktik para penjahit, misalnya menjelang Lebaran, yang menentukan harga jahit makin tinggi ketika semakin dekat dengan Lebaran? Ulama mazhab memberikan keleluasaan dalam menentukan harga sewa semacam itu. Al-Jizairi mencontohkan, “Jika Anda menjahitkan bajuku hari ini, upahnya satu dirham; jika Anda menjahitkan bajuku besok, upahnya setengah dirham. Jika Anda tinggal di rumah ini sebagai tukang besi, sewanya sepuluh dirham; jika Anda tinggal di rumah ini sebagai penjual minyak wangi, sewanya lima dirham”.
Bagaimana pula dengan kebiasaan sebagian orang yang naik becak atau ojek tanpa kesepakatan harga terlebih dahulu? Pada prinsipnya, upah harus diketahui terlebih dahulu, sesuai hadis Rasulullah saw., “Siapa yang mempekerjakan seorang pekerja harus memberitahukan upahnya.” Fatwa ulama menjelaskan bahwa harga sewa yang lazim yang berlaku bila tidak ditentukan di muka. “Bila manfaat telah dinikmati, harga sewa tidak ditentukan, sewa untuk manfaat yang sama harus dibayar.”

Jenis Barang yang Di-ijarah-kan dan Pengembalian Objek Ijarah

Jenis Barang yang Di-ijarah-kan dan Pengembalian Objek Ijarah memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Benda yang menjadi objek ijarah harus benda yang halal atau mubah.
2.      Benda yang di-ijarah harus digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan menurut syari‘at.
3.      Setiap benda yang dapat dijadikan objek jual beli dapat dijadikan objek ijarah.
4.      Benda yang di-ijarah-kan boleh keseluruhannya dan boleh pula sebagiannya yang ditetapkan dalam akad.
5.      Hak-hak tambahan penyewa yang berkaitan dengan objek ijarah ditetapkan dalam akad ijarah.
6.      Apabila hak-hak tambahan penyewa tidak ditetapkan dalam akad, hak-hak tambahan tersebut ditentukan berdasarkan kebiasaan.

Harga dan Jangka Waktu Ijarah

Berikut ini adalah beberapa ketentuan mengenai harga dan jangka waktu ijarah:
1.      Nilai atau harga ijarah antara lain ditentukan berdasarkan satuan waktu.
2.      Satuan waktu adalah menit, jam, hari, bulan, dan atau tahun.
3.      Awal waktu ijarah ditetapkan dalam akad atau atas dasar kebiasaan.
4.      Waktu ijarah dapat diubah berdasarkan kesepakatan para pihak.
5.      Kelebihan waktu dalam ijarahan yang dilakukan oleh pihak penyewa, harus dibayar berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan.

Ijarah bil Ijarah Metode Bayar dengan Cicilan

Ijarah bil Ijarah Metode Bayar dengan Cicilan:
Misalnya nasabah membutuhkan manfaat dari suatu barang pada saat ini (akad) hingga z periode ke depan. Nasabah tidak memiliki kemampuan untuk membayar total keseluruhan sewa di muka. Nasabah hanya mampu melakukan pembayaran sewa secara bulanan.
Maka, digunakan struktur akad berikut:
1.      Akad I: Ijarah:
a.       Pelaku: Bank, bertindak sebagai penyewa; Pemberi sewa, bertindak sebagai yang menyewakan kepada bank;
b.      Transaksi: Bank menyewa barang (ijarah) kepada pemberi sewa dengan pembayaran sewa di muka untuk z periode.
Dengan kondisi ini:
i.         Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rpxxx sebagai sewa dibayar di muka;
ii.       Bank telah dapat memanfaatkan fungsi dari barang tersebut selama z periode, tapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan barang.
2.      Akad II: Ijarah:
a.       Pelaku: Bank, bertindak sebagai pemberi sewa; Nasabah, bertindak sebagai penyewa;
b.      Bank menyewakan barang kepada nasabah dengan pembayaran uang sewa secara bulanan selama z periode sesuai dengan kebutuhan nasabah.
Dengan kondisi akad ini:
i.         Bank menyerahkan hak penggunaan manfaat barang kepada nasabah selama z periode.
ii.       Bank menerima pembayaran sewa (cash in) sebesar Rpxx setiap bulannya selama z periode yang disepakati. Sumber Pendanaan: Karena bank menerima pemasukan (cash in) setiap bulannya, pembiayaan ini dapat didanai dengan menggunakan URIA sehingga bank dapat membayarkan bagi hasil setiap bulannya kepada pemegang URIA.


Ijarah bil Ijarah Metode Bayar di Akhir Lump-Sum

Ijarah bil Ijarah–Bayar di Akhir Lump-Sum:
Misalnya nasabah membutuhkan manfaat dari suatu barang pada saat ini (akad) hingga 3 bulan (90 hari) ke depan. Nasabah tidak memiliki kemampuan untuk membayar total keseluruhan sewa di muka. Nasabah bahkan tidak memiliki dana di muka untuk membayar angsuran. Nasabah hanya mampu melakukan pembayaran sewa di akhir periode sewa.
Maka digunakan struktur akad berikut:
1.      Akad I: Ijarah:
a.       Pelaku: Bank, bertindak sebagai penyewa; Pemberi sewa, bertindak sebagai yang menyewakan kepada bank;
b.      Transaksi: Bank menyewa barang (ijarah) kepada pemberi sewa dengan pembayaran sewa di muka untuk 3 bulan ke depan.
Dengan kondisi ini:
i.         Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rpxxx sebagai sewa dibayar di muka;
ii.       Bank telah dapat memanfaatkan fungsi dari barang tersebut selama 3 bulan, tapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan barang.
2.      Akad II: Ijarah:
a.       Pelaku: Bank, bertindak sebagai pemberi sewa; Nasabah, bertindak sebagai penyewa;
b.      Transaksi: Bank menyewakan barang kepada nasabah dengan pembayaran uang sewa di akhir masa sewa, yaitu 3 bulan kemudian.
Dengan kondisi akad ini:
i.         Bank menyerahkan hak penggunaan manfaat barang kepada nasabah selama 3 bulan ke depan.
ii.       Bank menerima pembayaran sewa (cash in) sebesar Rpxx di akhir masa sewa (3 bulan kemudian). Sumber Pendanaan: Karena bank tidak menerima pemasukan (cash in) setiap bulannya, pembiayaan ini tidak dapat didanai dengan menggunakan URIA, melainkan dengan RIA yang tidak mengharuskan bank untuk melakukan pembayaran bagi hasil setiap bulannya kepada pemegang RIA.

Ijarah dan Leasing

Ijarah dan Leasing
Karena ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan leasing.
Hal ini terjadi karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal-ihwal sewa-menyewa. Menyamakan ijarah dengan leasing tidak sepenuhnya salah, namun tidak sepenuhnya benar pula. Karena pada dasarnya, walaupun terdapat kesamaan antara ijarah dan leasing, ada beberapa karakteristik yang membedakannya.

Lease Purchase pada Ijarah dan Leasing

Lease-purchase (sewa-beli) adalah kontrak sewa sekaligus beli.
Dalam kontrak sewa-beli ini, perpindahan kepemilikan terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak sewa-beli ini dibatalkan, hak milik barang terbagi antara milik penyewa dengan milik yang menyewakan. Dalam syariah, akad lease and purchase ini diharamkan karena adanya “two in one” (dua akad sekaligus, atau dalam bahasa Arabnya: shafqatain fi al-shafqah).

Metode Pembayaran pada Ijarah dan Leasing

Metode Pembayaran pada Ijarah dan Leasing:
Bila dilihat dari segi metode pembayarannya, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran saja, yakni yang bersifat not contingent to performance. Artinya, pembayaran sewa pada leasing tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa.
Misalkan Ifham menyewa mobil X pada Toyota Rent A Car untuk dua hari dengan tarif Rp1.000.000,00/hari. Dengan mobil tersebut, Ifham berencana untuk pergi ke Bandung. Bila ternyata Ifham tidak pergi ke Bandung, tetapi hanya ke Bogor, Ifham tetap harus membayar sewa mobil tersebut seharga Rp1.000.000,00/hari.
Dengan demikian, penentuan harga sewa pada kasus di atas tergantung pada lamanya waktu sewa, bukan pada apakah mobil tersebut dapat mengantarkan kita ke Bandung atau tidak.
Di lain pihak, dari segi metode pembayarannya ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa (contingent to performance) dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to perfomance).
Ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah, gaji dan/atau sewa. Sedangkan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa disebut ju’alah, atau success fee.
Contoh ijarah yang not contingent to performance sama dengan contoh Ifham di atas. Sedangkan contoh ju’alah misalkan sebagai berikut: Ifham ingin pergi ke Bandung bersama keluarganya. Karena tidak ingin mengemudikan mobilnya sendiri, ia menghubungi perusahaan travel. Kepada perusahaan travel, Ifham mengatakan, “Tolong antarkan saya beserta keluarga ke Bandung dengan mobil perusahaan Anda. Jika Anda bisa mengantarkan kami ke Bandung, Anda akan kubayar Rp500.000,00”.
Dalam akad ju’alah tersebut, pembayaran sewa tidak bergantung pada berapa lamanya mobil itu digunakan oleh si penyewa (seperti pada contoh leasing terdahulu). Pembayaran sewa bergantung pada apakah mobil tersebut dapat mengantarkan si penyewa ke Bandung atau tidak (tergantung kinerja). Bila ternyata mobil tersebut hanya mengantarkan sampai di Bogor, Ifham tidak perlu membayar.
Contoh lain misalnya adalah dalam upah mengupah buruh bangunan, dikenal dua macam sistem: sistem upah harian dan sistem upah borongan. Upah harian ini adalah contoh ijarah, sedangkan upah borongan adalah contoh ju’alah.

Perbandingan antara Ijarah dan Leasing

Perbandingan (perbedaan dan persamaan) antara ijarah dan Leasing dilihat dari beberapa hal berikut:
1.      Objek: pada ijarah, Manfaat barang & Manfaat jasa; pada Leasing, Manfaat barang saja;
2.      Methods of Payment: pada ijarah, Contingent to performance, Not contingent to performance; pada Leasing: Not contingent to performance;
3.      Transfer of Title: pada ijarah à No transfer of titleà, pada IMBT  Promise to sell or hibah at the beginning of period; sedangkan pada operating lease à No transfer of title dan pada financial lease à Option to buy or not to buy, at the end of period;
4.      Lease Purchase/sewa-beli: pada ijarah, bentuk leasing seperti ini haram karena akad-nya gharar, (yakni antara sewa dan beli); pada Leasing boleh.
5.      Sale and Lease Back, baik pada ijarah maupun Leasing, diperbolehkan.

Perpindahan Kepemilikan (Transfer of Title) pada Ijarah dan  Leasing

Dari aspek perpindahan kepemilikan, dalam leasing dikenal ada dua jenis: operating lease dan financial lease.
Dalam operating lease, tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset, baik di awal maupun di akhir periode sewa.
Dalam financial lease, di akhir periode sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang disewa tersebut.Jadi transfer of title masih berupa pilihan, dan dilakukan di akhir periode.
Namun, pada praktiknya (khususnya di Indonesia), dalam financial lease sudah tidak ada opsi lagi untuk membeli atau tidak membeli, karena pilihan untuk membeli atau tidak membeli itu sudah “dikunci” di awal periode. Di lain pihak, ijarah sama seperti operating lease, yakni tidak ada transfer of title baik di awal maupun akhir periode.
Namun demikian, pada akhir masa sewa Bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahiya bittamlik/IMBT (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Karena itu dalam IMBT, pihak yang menyewakan berjanji di awal periode kepada pihak penyewa, apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibahkannya.
Dengan demikian, ada dua jenis IMBT, yakni (1) IMBT dengan janji menghibahkan barang di akhir periode sewa. (IMBT with a promise to hibah). (2) IMBT dengan janji menjual barang pada akhir periode sewa. (IMBT with a promise to sell).

Sale and Lease Back pada Ijarah dan Leasing

Sale and lease-back terjadi bila misalnya A menjual barang X ke B, tetapi karena A tetap ingin memiliki barang X tersebut, B menyewakannya kembali ke A dengan kontrak financial lease, sehingga A mempunyai pilihan untuk memiliki barang X tersebut di akhir periode. Bila ada dua akad tidak saling dikaitkan berlakunya, hal ini dibolehkan.

Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT)

Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT) adalah sewa yang diakhiri dengan pemindahan pemilikan barang; Sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.

Aplikasi IMBT

Pembiayaan IMBT diterapkan untuk :
1.      Pembiayaan Investasi, misalnya untuk pembiayaan barang-barang modal, seperti mesin-mesin dan sebagainya.
2.      Pembiayaan Konsumer misalnya untuk pembelian mobil, rumah dan sebagainya.

IMBT Paralel

Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) adalah merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa.
Dalam Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik terjadi kepemindahan hak milik barang yaitu dengan cara:
1.      Ijarah dengan janji akan menjual pada akhir masa sewa;
2.      Ijarah dengan janji untuk memberikan hibah pada akhir masa sewa.
Nilai sewa yang berlaku harus berdasarkan harga barang dan besarnya cicilan barang tersebut, sehingga dapat diketahui berapa harga jual di akhir masa penyewaan atau apakah dapat langsung dengan hibah.
Pada IMBT dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan secara bulanan juga.
Misalnya: Nasabah membutuhkan jasa penyewaan barang saat ini hingga jangka waktu tertentu dan ingin memiliki barang tersebut di akhir masa sewa. Nasabah tidak mempunyai kemampuan membayar sewa secara sekaligus di muka (tunai). Nasabah hanya mampu membayar sewa secara bulanan selama masa sewa.

Untuk kondisi umum tersebut, bank dapat melakukan 2 struktur akad:
a.       IMBT paralel dengan janji menjual barang di akhir masa sewa.
b.      IMBT paralel dengan janji menghibahkan barang tersebut di akhir masa sewa.
Berikut adalah skema akad yang digunakan:
1.      Akad I: IMBT:
a.      Pelaku: Bank bertindak sebagai penyewa dan di akhir masa sewa bank sebagai pembeli barang; Pemilik barang sebagai pemberi sewa;
b.      Transaksi: Bank menyewa barang kepada pemilik barang dengan pembayaran sewa di muka selama zz bulan.
Dengan kondisi ini:
i.   Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rpxx sebagai seluruh uang sewa di muka selama zz bulan.
ii. Bank telah dapat memanfaatkan barang tersebut selama zz bulan.
iii.      Di akhir masa sewa, Bank mengeluarkan uang sebesar Rpyy untuk membeli barang, sehingga terjadi kepemindahan milik dan sejak saat itu Bank menjadi pemilik barang.
2.      Akad II: IMBT:
a.       Pelaku: Bank bertindak sebagai pemberi sewa dengan janji akan menjual atau menghibahkan barang tersebut kepada nasabah; Nasabah bertindak sebagai penyewa dan di akhir masa sewa akan membeli atau menerima hibah barang dari bank;
b.      Transaksi: Bank menyewakan barang kepada nasabah dengan pembayaran uang sewa secara bulanan selama zz periode sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan nasabah.
i.         Bank menyerahkan hak pemanfaatan barang selama zz bulan kepada nasabah.
ii.       Bank menerima pembayaran sewa (cash in) sebesar Rpaa setiap bulannya selama zz periode yang disepakati dari nasabah.
iii.      Bank menjual barang dan kemudian menerima uang pembelian barang sebesar Rpbb dari nasabah apabila Bank menjanjikan untuk menjual barang tersebut, atau bank menghibahkan barang tersebut kepada nasabah.
iv.     Nasabah menerima barang baik sebagai hasil penjualan atau hibah dari Bank. Sumber Pendanaan: Karena bank menerima pemasukan (cash in) setiap bulannya, pembiayaan ini dapat didanai dengan menggunakan URIA sehingga bank dapat membayarkan bagi hasil setiap bulannya kepada nasabah pemegang URIA.

Syarat IMBT

Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan berdasarkan Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
1.      IMBT harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani dan kesepakatan tersebut wajib dituangkan dalam akad ijarah dimaksud;
2.      pelaksanaan pelaksanaan IMBT hanya dapat dilakukan setelah akad ijarah dipenuhi;
3.      Bank wajib mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah berdasarkan hibah, pada akhir periode perjanjian sewa;
4.      pengalihan kepemilikan barang sewa kepada penyewa dituangkan dalam akad tersendiri setelah masa ijarah selesai.

Pemindahan Hak Milik pada IMBT

Dalam Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
1.      Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa;
2.      Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk menjual barang di akhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu, untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu di akhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.
Pada IMBT dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan secara bulanan juga.

IMBT dengan Sumber Dana dari Restricted Investment Account (RIA), Investasi Terikat Terhadap Sektor atau Proyek

Pada Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan dari Restricted Investment Account (RIA): investasi terikat terhadap sektor atau proyek, pembayaran oleh nasabah tidak harus dilakukan setiap bulan, dapat dilakukan untuk jangka waktu tertentu yaitu tiga bulan.
Contoh akad ini Nasabah membutuhkan jasa penyewaan barang saat ini untuk jangka waktu tertentu dan ingin memiliki barang tersebut di akhir masa sewa. Nasabah tidak mempunyai kemampuan membayar sewa secara sekaligus di muka (tunai). Nasabah hanya mampu membayar keseluruhan biaya sewa di akhir masa sewa atau secara angsuran sebesar Rpxxx setiap tiga bulannya.
Untuk kondisi umum tersebut, terdapat 2 akad yang dapat dilakukan yaitu:
a.       IMBT paralel akhir dengan janji menjual barang di akhir masa sewa.
b.      IMBT paralel akhir dengan janji menghibahkan barang tersebut di akhir masa sewa.
1.      Akad I: IMBT:
a.       Pelaku: Bank bertindak sebagai penyewa dan di akhir masa sewa bank sebagai pembeli barang; Pemilik barang sebagai pemberi sewa;
b.      Transaksi: Bank menyewa barang kepada pemilik barang dengan pembayaran sewa di muka selama zz bulan.
Dengan kondisi ini:
i.   Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rpxx sebagai seluruh uang sewa di muka selama zz bulan.
ii. Bank telah dapat memanfaatkan barang tersebut selama zz bulan.
iii.      Di akhir masa sewa, Bank mengeluarkan uang sebesar Rpyy untuk membeli barang, sehingga terjadi kepemindahan milik dan sejak saat itu Bank menjadi pemilik barang.
2.      Akad II: IMBT:
a.       Pelaku: Bank bertindak sebagai pemberi sewa dan penjual atau pemberi hibah barang tersebut kepada nasabah; Nasabah bertindak sebagai penyewa;
b.      Transaksi: Bank menyewakan barang kepada nasabah dengan pembayaran uang sewa secara keseluruhan di akhir masa sewa selama periode sewa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan nasabah.
i.         Bank menyerahkan hak pemanfaatan barang selama zz bulan kepada nasabah.
ii.       Bank menerima pembayaran sewa (cash in) keseluruhan biaya sewa di akhir masa sewa atau sebesar Rpaa setiap bulannya selama zz periode yang disepakati.
iii.      Bank menerima uang pembelian barang sebesar Rpbb apabila Bank menjanjikan untuk menjual barang tersebut di muka.
iv.     Nasabah menerima barang baik sebagai hasil pembelian atau hibah dari Bank. Sumber Dana: Bank dapat menggunakan sumber dana RIA untuk mendanai pembiayaan seperti ini selama pembayaran angsuran tidak melebihi jangka waktu tiga bulanan (quarterly).

IMBT Paralel dengan Janji untuk Menjual Barang Tersebut di Akhir Masa Sewa

IMBT Paralel dengan Janji untuk Menjual Barang Tersebut di Akhir Masa Sewa
Contoh aplikasi akad ini: Nasabah membutuhkan jasa penyewaan barang saat ini selama zz bulan memiliki barang tersebut di akhir masa sewa. Nasabah tidak mempunyai kemampuan membayar sewa secara sekaligus di muka (tunai). Nasabah hanya mampu membayar sewa secara bulanan selama masa sewa (zz bulan). Untuk kondisi umum tersebut, bank dapat menggunakan akad IMBT dengan janji untuk menjual barang di akhir masa sewa.
Adapun skema akad yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.      Akad I: IMBT:
a.       Pelaku: Bank bertindak sebagai penyewa dan pembeli di akhir masa sewa; Pemilik barang sebagai pemberi sewa
b.      Transaksi: Bank menyewa barang kepada pemilik barang dengan pembayaran sewa di muka selama zz bulan.
Dengan kondisi ini:
i.         Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rpxx sebagai seluruh uang sewa di muka selama zz bulan.
ii.       Bank telah dapat memanfaatkan barang tersebut selama zz bulan.
iii.      Di akhir masa sewa, Bank mengeluarkan uang sebesar Rpyy untuk membeli barang, sehingga terjadi kepemindahan milik dan sejak saat itu Bank menjadi pemilik barang.
2.      Akad II: IMBT:
a.       Pelaku: Bank bertindak sebagai pemberi sewa dan penjual di akhir masa sewa; Nasabah bertindak sebagai penyewa
b.      Transaksi: Bank menyewakan barang kepada nasabah dengan pembayaran uang sewa secara bulanan selama zz periode sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan nasabah.
i.         Bank menyerahkan hak pemanfaatan barang selama zz bulan kepada nasabah.
ii.       Bank menerima pembayaran sewa (cash in) sebesar Rpaa setiap bulannya selama zz periode yang disepakati dari nasabah.
iii.      Di akhir masa sewa, bank menjual barang kepada nasabah dan menerima uang pembelian barang tersebut sebesar Rpbb, sehingga terjadi perpindahan kepemilikan barang dan sejak saat itu nasabah sebagai pemilik barang.
iv.     Nasabah menerima barang sebagai hasil pembelian dari Bank.
Sumber Dana: Karena bank menerima pemasukan (cash in) setiap bulannya, pembiayaan ini dapat didanai dengan menggunakan URIA sehingga bank dapat membayarkan bagi hasil setiap bulannya kepada nasabah pemegang URIA.

IMBT Paralel dengan Janji untuk Memberi Barang Secara Hibah di Akhir Masa Sewa

IMBT Paralel dengan Janji untuk Memberi Barang Secara Hibah di Akhir Masa Sewa:
Contoh aplikasi akad ini: Nasabah membutuhkan jasa penyewaan barang saat ini selama zz bulan memiliki barang tersebut di akhir masa sewa. Nasabah tidak mempunyai kemampuan membayar sewa secara sekaligus di muka (tunai).
Nasabah hanya mampu membayar sewa secara bulanan selama masa sewa (zz bulan). Untuk kondisi umum tersebut, bank dapat menggunakan akad IMBT paralel dengan janji untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa.



Adapun skema akad yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.      Akad I: IMBT:
a.       Pelaku: Bank bertindak sebagai penyewa dan pembeli di akhir masa sewa; Pemilik barang sebagai pemberi sewa
b.      Transaksi: Bank menyewa barang kepada pemilik barang dengan pembayaran sewa di muka selama zz bulan.
Dengan kondisi ini:
i.         Bank mengeluarkan uang (cash out) sebesar Rpxx sebagai seluruh uang sewa di muka selama zz bulan.
ii.       Bank telah dapat memanfaatkan barang tersebut selama zz bulan.
iii.      Di akhir masa sewa, Bank mengeluarkan uang sebesar Rpyy untuk membeli barang, sehingga terjadi kepemindahan milik dan sejak saat itu Bank menjadi pemilik barang;
2.      Akad II: IMBT:
a.       Pelaku: Bank bertindak sebagai pemberi sewa dan pemberi hibah di akhir masa sewa; Nasabah bertindak sebagai penyewa;
b.      Transaksi: Bank menyewakan barang kepada nasabah dengan pembayaran uang sewa secara bulanan selama zz periode sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan nasabah.
i.         Bank menyerahkan hak pemanfaatan barang selama zz bulan kepada nasabah.
ii.       Bank menerima pembayaran sewa (cash in) sebesar Rpaa setiap bulannya selama zz periode yang disepakati dari nasabah.
iii.      Di akhir masa sewa, bank menghibahkan barang tersebut kepada nasabah, sehingga terjadi perpindahan kepemilikan barang dan sejak saat itu nasabah sebagai pemilik barang.
Sumber Dana: Karena bank menerima pemasukan (cash in) setiap bulannya, pembiayaan ini dapat didanai dengan menggunakan URIA sehingga bank dapat membayarkan bagi hasil setiap bulannya kepada nasabah pemegang URIA.




*   QARDH

Definisi Qardh

Qardh;
Aspek Fikih: Qardh atau Iqradh secara etimologi berarti pinjaman.
Secara termonologi muamalah (ta’rif) adalah memiliki sesuatu (hasil pinjaman) yang dikembalikan (pinjaman tersebut) sebagai penggantinya dengan nilai yang sama.
Teknis Perbankan: Qardh adalah akad pemberian pinjaman dari Bank kepada nasabah yang dipergunakan untuk kebutuhan mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan bersama) dan pembayarannya bisa dilakukan secara angsuran atau sekaligus.

Beberapa Definisi Qardh

Qardh al-Hasan; Pinjaman kebajikan adalah:
1.      Pinjaman dengan kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apa pun;
2.      Suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan pihak yang menerima pinjaman tidak wajib mengembalikan dana apabila terjadi force majeure.
Qardh al-Kharijiy; Pinjaman luar negeri adalah pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri (foreign debt).
Qardh Birahnin adalah pinjaman dengan jaminan.
Qardh Muqayyad; Pinjaman terikat adalah pinjaman luar negeri dengan persyaratan tertentu (restricted debt).

Qardh wal Ijarah dan Qardh wal IMBT

Qardh Wal Ijarah adalah kombinasi dua aqad yang dilakukan untuk menalangi suatu pendanaan dan memberikan fasilitas sewa atas penggunaan dari manfaat tersebut. Contoh dana talangan haji untuk memperoleh porsi haji atau pelunasan BPIH.
Qardh Wal IMBT adalah akad kombinasi dua akad yang dilakukan untuk mentake over pembiayaan dari bank lain dengan syarat. Penggunaan Qard apabila menutup bunga dan pokoknya dari Bank lain, namun harus diingat bank tidak boleh mengambil keuntungan dari akad ini hanya boleh mendapatkan biaya administrasi (Fee Ujrah), sedangkan ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) dilakukan saat nasabah tersebut telah mendapatkan pembiayaan dari bank lain dengan diambil manfaatnya atau kegunaannya dan menghindari ba’i al innah.

Muqridh

Muqridh adalah Pemberi pinjaman; Pihak yang memberikan piutang atau pinjaman kepada pihak lain dalam akad qardh. Dalam aplikasi perbankan syariah, qardh merupakan akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada bank pada waktu yang disepakati tanpa adanya tambahan.

Aplikasi Qardh

Aplikasi qardh dalam perbankan syariah biasanya dalam empat hal, yaitu
1.      Sebagai pinjaman talangan haji, di mana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
2.      Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dengan nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
3.      Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, yang menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
4.      Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dengan bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.

Tujuan Akad Qardh

Tujuan Akad Qardh adalah
1.      Membiayai usaha produktif dari kaum dhu’afa;
2.      Pinjaman untuk menutup utang kepada rentenir;
3.      Pinjaman untuk biaya sewa rumah;
4.      Pinjaman untuk memenuhi kebutuhan mendesak karena tertimpa musibah.

Ketentuan Akad Qardh

Ketentuan Umum pembiayaan dengan akad qardh adalah sebagai berikut:
1.      Al-qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
2.      Nasabah al-qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
3.      Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4.      LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah jika dipandang perlu.
5.      Nasabah al-qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6.      Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
a.       memperpanjang jangka waktu pengembalian,
b.      menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Sanksi pada Qardh

Jika nasabah pembiayaan dengan akad qardh tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah dapat berupa—dan tidak terbatas pada—penjualan barang jaminan. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.

Sumber Dana Qardh

Dana al-qardh dapat bersumber dari:
1.      Bagian modal LKS;
2.      Keuntungan LKS yang disisihkan;
3.      Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS, yaitu dana yang diperoleh dari Muzakki atau kaum dermawan yang berbentuk Zakat, Infaq, Shadaqah, dan sebagainya, digunakan untuk bantuan yang bersifat sosial (seperti mendapat musibah dan sejenisnya), atau untuk membantu kaum dhu’afa.

*      RAHN

Murtahin (pada Rahn)

Murtahin; adalah penerima barang jaminan; Dalam aplikasi perbankan syariah, murtahin merupakan salah satu rukun dari akad rahn di mana bank bertindak sebagai murtahin.

Marhun Bihi (Dana Rahn)

Marhun Bihi; Dana rahn; adalah dana yang diperoleh oleh rahin (nasabah) setelah aplikasi rahn-nya diterima oleh pihak murtahin (bank), dengan syarat setelah ada penyerahan marhun (jaminan) ke pihak murtahin.

Marhun pada Rahn (Gadai)

Marhun adalah:
1.      Objek atau barang yang dijadikan jaminan; Termasuk salah satu rukun yang harus ada dalam transaksi dengan menggunakan prinsip atau akad rahn.
2.      Harta yang diagunkan pada akad rahn disebut al-marhun (yang diagunkan).
Harta agunan itu harus diserah terimakan oleh ar-rahin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin.
Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin).
Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan.
Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-rahin karena Rasul Shalallahu alaihi wasallam telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita. [Rasul bersabda, “La tabi’ ma laysa ‘indaka (Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu) (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi)].
Dalam akad jual beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabi’) tadi. akad Ar-rahn (agunan) merupakan tawtsiq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-rahin.
Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan Ar-rahn, jual beli kredit tidak lagi memenuhi makna tawtsiq itu.
Dengan demikian, Ar-rahn dalam kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi. Pada masa Jahiliyah, jika ar-rahin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, barang agunan langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliyah itu dibatalkan oleh Islam.
Rasul saw. bersabda: “Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni).
Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh ar-rahin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni arrahin.
Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu menjadi kewajiban ar-rahin. Hanya saja, Imam Al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-rahin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-rahin gagal membayar utang pada saat jatuh temponya. [Abu Hamid Al-Ghazali, al-Wasith, III/520, Dar as-Salam, Kairo. 1417 H].
Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dan sebagainya saat ini-yang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah.
Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan. Pemanfaatan almarhun oleh al-murtahin [An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/340-343, minimal mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah li ath-Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi’, Beirut, cet. v (mu’tamadah). 2003]. Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin.
Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsiq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni arrahin.
Karena itu, ar-rahin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun).
Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan. Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dari orang lain.
Jika akad Ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu). Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama [Samih ‘Athif az-Zain, al-Mu’amalat, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995, 285 dan 303-304].
Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikit pun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram. [Rasul bersabda: “kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa majhun minimal wujuhi ar-riba (Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat, pinjaman itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR al-Baihaqi]. Jika Ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya [Samih ‘Athif az-Zain, al-Mu’amalat, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995, 285 dan 303-304.
Secara umum, sebenarnya dayn lebih umum daripada qardh. Dengan kata lain, dayn juga meliputi qardh. Namun, konteks dayn yang dimaksud dalam pembahasan ini dispesifikkan untuk kasus utang di luar qardh, yang telah dijelaskan di atas] maka al-murtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-rahin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik ar-rahin.
Tidak terdapat nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin dari kebolehan itu. Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti ar-rahin menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, al-murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin.
Dengan ketentuan, sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-rahin kepada al-murtahin. Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn.

Pegadaian Syariah

Ketentuan Pegadaian Syariah: Ketentuan mengenai syarat, rukun, dan hal-hal lain terkait dengan pegadaian syariah, sama dengan ketentuan pada Rahn. Lihat Rahn.
Konsep Lembaga Gadai Syariah:
Walaupun cikal bakal lembaga gadai berasal dari Italia yang kemudian berkembang keseluruh dataran Eropa, perjanjian gadai ada dan diajarkan dalam Islam. Fikih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut “rahn”, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang.
dasar hukum rahn adalah Alquran, khususnya surat Al Baqarah ayat 282 yang mengajarkan agar perjanjian hutang piutang itu diperkuat dengan catatan dan saksi-saksi, serta ayat 283 yang membolehkan meminta jaminan barang atas hutang. Alquran, Surat Al Baqarah, ayat 282 menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan persaksikanlah dengan dua orang sakasi orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengiangatkanya.“ Alquran, Surat Al Baqarah, ayat 283 menyatakan: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).“
Dasar hukum lainnya adalah sunnah Rasul, khususnya yang meriwayatkan Nabi Muhammad saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang dengan jaminan berupa baju besinya. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra., berkata: “Rasullulah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.“
Dasar hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai. Selanjutnya yang menyangkut segi-segi teknis, seperti ketentuan tentang siapa yang harus menanggung biaya pemeliharaan selama marhun berada di tangan murtahin, tatacara penentuan biayanya, dsb., adalah ijtihad yang dilakukan para fuqaha.

Rahn Emas

Rahn Emas adalah Rahn (gadai) dengan menjadikan emas sebagai barang yang digadaikan. Syarat dan ketentuan rahn emas adalah sama dengan syarat dan ketentuan rahn.

Rahn Tasjily

Rahn Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada murtahin;
Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn Tasjily dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Rahin menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada murtahin;
2.      Penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang ke murtahin. Dan apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya, Marhun dapat dijual paksa/dieksekusi langsung baik melalui lelang atau dijual ke pihak lain sesuai prinsip syariah;
3.      Rahin memberikan wewenang kepada murtahin untuk mengeksekusi barang tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya;
4.      Pemanfaatan barang marhun oleh rahin harus dalam batas kewajaran sesuai kesepakatan;
5.      Murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun (berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat) yang ditanggung oleh rahin;
6.      Besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun tidak boleh dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan;
7.      Besaran biaya didasarkan pada pengeluaran yang riil dan beban lainnya berdasarkan akad ijarah.
8.      Biaya asuransi pembiayaan Rahn Tasjily ditanggung oleh Rahin.
9.      Ketentuan-ketentuan umum fatwa No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn yang terkait dengan pelaksanaan akad Rahn Tasjily tetap berlaku

Serah Terima yang Sah pada Rahn

Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya. Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan.
Bila berupa barang yang ditakar, disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran. Bila barang timbangan, disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun, bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.

Rukun Rahn

Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu:
1.      Shighat (ijab dan qabul);
2.      Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad Ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-rahin) dan yang menerima agunan (al-murtahin);
3.      Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi objek akad), yaitu barang yang diagunkan (almarhun) dan utang (al-marhun bih).
Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).

Rahn Harta Pinjaman

Rahn Harta Pinjaman memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Seseorang boleh menggadaikan harta pinjaman dengan seizin pihak yang meminjamkannya.
2.      Apabila pemilik harta tersebut di atas memberi izin tanpa syarat apa pun, peminjam boleh menggadaikannya dengan cara apa pun.
3.      Apabila pemilik harta tersebut di atas memberi izin dengan syarat, peminjam tidak boleh menggadaikan harta tersebut kecuali sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati.

Penjualan Harta Rahn

Penjualan Harta Rahn memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Apabila telah jatuh tempo, pemberi gadai dapat mewakilkan kepada penerima gadai atau penyimpan atau pihak ketiga untuk menjual harta gadainya.
2.      Apabila jatuh tempo, penerima gadai harus memperingatkan pemberi gadai untuk segera melunasi utangnya.
3.      Apabila pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya, harta gadai dijual paksa melalui lelang syariah.
4.      Hasil penjualan harta gadai digunakan untuk melunasi utang, biaya penyimpanan dan pemeliharaan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
5.      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik pemberi gadai dan kekurangannya menjadi kewajiban pemberi gadai.
6.      Jika pemberi gadai tidak diketahui keberadaannya, penerima gadai boleh mengajukan kepada pengadilan agar pengadilan menetapkan bahwa penerima gadai boleh menjual harta gadai untuk melunasi utang pemberi gadai.
7.      Jika penerima gadai tidak menyimpan dan atau memelihara harta gadai sesuai dengan akad, pemberi gadai dapat menuntut ganti rugi.
8.      Apabila harta gadai rusak karena kelalaiannya, penerima gadai harus mengganti harta gadai.
9.      Jika yang merusak harta gadai adalah pihak ketiga, yang bersangkutan harus menggantinya.
10.  Penyimpan harta gadai harus mengganti kerugian jika harta gadai itu rusak karena kelalaiannya

Pembatalan Akad Rahn

Pembatalan Akad Rahn memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Akad gadai dapat dibatalkan bila harta gadai belum dikuasai oleh penerima gadai.
2.      Penerima gadai dengan kehendak sendiri dapat membatalkan akad gadainya.
3.      Pemberi gadai tidak dapat membatalkan akad gadainya tanpa persetujuan dari penerima gadai.
4.      Pemberi gadai dan penerima gadai dapat membatalkan akad gadainya melalui kesepakatan.
5.      Penerima gadai boleh menahan harta gadai setelah pembatalan akad gadai sampai utang yang dijamin oleh harta gadai itu dibayar lunas.
6.      Pemberi gadai boleh mengadakan akad gadai secara sah dalam kaitan dengan sejumlah uang dari dua penerima gadai, dan harta gadai itu menjamin kedua utang itu.

Penambahan dan Penggantian Harta Rahn

Ketentuan Penambahan dan Penggantian Harta Rahn adalah
1.      Segala sesuatu yang termasuk dalam harta gadai akan turut digadaikan pula.
2.      Harta gadai dapat diganti dengan harta gadai yang lain berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
3.      Utang yang dijamin oleh harta gadai bisa ditambah secara sah dengan jaminan harta gadai yang sama.
4.      Setiap tambahan dari harta gadai merupakan bagian dari harta gadai asal.

Ketentuan Rahn

Berikut ini adalah ketentuan akad pembiayaan rahn (gadai);
1.      Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2.      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3.      Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4.      Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.      Penjualan marhun yang dilakukan dengan ketentuan:
a.       Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
b.      Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c.       Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan
d.      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin

 

Keharusan Rahn

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Arrahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya.
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
1.      Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-rahn. Demikian pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam mazhab Ahmad bin Hambal serta mazhab Dzohiriyah. Dan Ar-rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan, sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum diserah–terimakan, tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. [Al-Mughni 6/446].
2.      Ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya, ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat mazhab Malikiyah dan riwayat dalam mazhab Al-Hambaliyah, Ar-rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah menjadi penyempurna Ar-rahn dan bukan syarat sahnya. Menurut Prof. Dr. Abdullah Al-Thoyyar, yang rajih, bahwasanya Ar-rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faedah Ar-rahn, yaitu berupa pelunasan utang dengannya atau dengan nilainya, ketika (utangnya) tidak mampu dilunasi.

Hak Rahin dan Murtahin

Berikut ini adalah hak rahin dan murtahin:
1.      Akad gadai batal jika salah satu pihak menggadaikan lagi harta gadai ke pihak ketiga tanpa izin dari pihak lainnya.
2.      Pemberi gadai dapat menerima atau menolak akad jual beli yang dilakukan oleh penerima gadai jika penerima gadai menjual harta gadai tanpa izinnya.
3.      Pemberi dan penerima gadai dapat melakukan kesepakatan untuk meminjamkan harta gadai kepada pihak ketiga.
4.      Penerima gadai tidak boleh menggunakan harta gadai tanpa seizin pemberi gadai.

Hak dan Kewajiban dalam Rahn

Hak dan kewajiban pada akad rahn adalah sebagai berikut:
1.      Penerima gadai mempunyai hak menahan harta gadai sampai utang pemberi gadai dibayar lunas.
2.      Jika pemberi gadai meninggal, penerima gadai mempunyai hak istimewa dari pihak-pihak yang lain dan boleh mendapat pembayaran utang dari harta gadai itu.
3.      Adanya harta gadai tidak menghilangkan hak penerima gadai untuk menuntut pembayaran utang.
4.      Pemberi gadai dapat menuntut salah satu harta gadainya jika ia telah membayar lunas utang pada salah satu harta gadainya.
5.      Pemilik harta yang dipinjamkan dan telah digadaikan, mempunyai hak untuk meminta kepada pemberi gadai guna menebus harta gadai serta mengembalikannya kepadanya.
6.      Akad gadai tidak batal karena pemberi gadai atau penerima gadai meninggal.
7.      Ahli waris yang memiliki kecakapan hukum dapat menggantikan pemberi gadai yang meninggal.
8.      wali dari ahli waris yang tidak cakap hukum pemberi gadai yang meninggal dapat menjual harta gadai setelah mendapat izin terlebih dahulu dari penerima harta gadai, lalu membayar utang pemberi gadai.
9.      Barang siapa yang meminjamkan harta yang kemudian harta tersebut digadaikan oleh peminjam dengan seizinnya, tidak berhak menuntut harta tersebut dari penerima gadai sampai utang yang dijamin oleh harta gadai itu dilunasi, walaupun sudah meninggal.
10.  Apabila pemberi gadai meninggal dunia dalam keadaan pailit, pinjaman tersebut tetap berada dalam status harta gadai.
11.  Harta gadai tidak boleh dijual tanpa persetujuan pihak pemberi gadai.
12.  Apabila pihak pemberi gadai bermaksud menjual harta gadai, harta tersebut harus dijual meskipun tanpa persetujuan penerima gadai.
13.  Dalam hal kematian pemberi pinjaman harta yang digadaikan dan utangnya melebihi harta kekayaannya, pemberi gadai harus dipanggil untuk membayar utang, dan menebus harta gadai yang telah ia pinjam dari yang meninggal.
14.  Apabila pemberi gadai tidak mampu membayar utang tersebut, harta yang dipinjamnya akan terus dalam status sebagai harta gadai dalam kekuasaan penerima gadai.
15.  Ahli waris dari pemberi gadai bisa menebus harta itu dengan cara membayar utangnya.
16.  Jika ahli waris penerima gadai tidak melunasi utang pewaris, pemberi gadai dibolehkan menjual harta gadai untuk melunasi utang pewaris.
17.  Jika hasil penjualan harta gadai melebihi jumlah utang penerima gadai, kelebihan tersebut harus dikembalikan kepada ahli waris dari penerima gadai
18.  Jika hasil penjualan harta gadai kurang atau tidak cukup untuk melunasi utang penerima gadai, pemberi gadai berhak menuntut pelunasan utang tersebut kepada ahli warisnya.
19.  Kepemilikan harta gadai beralih kepada ahli waris jika penerima gadai meninggal.

Beda Pendapat Ulama tentang Rahn

Para ulama berselisih mengenai Rahn ini dalam dua pendapat.
1.      Pendapat Pertama: Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Mazhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah). Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-rahn) adalah jaminan atas utang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban)” [Al Mughni 6/444]. Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan Ar-rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajib. Demikian juga karena Arrahn adalah jaminan utang sehingga tidak wajib seperti halnya Adh-Dhimaan (Jaminan Pertanggung jawaban) dan Al-Kitabah (penulisan perjanjian utang). Di samping itu, juga karena ini adanya kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian utang. Bila Al-Kitaabah tidak wajib, demikian juga penggantinya.
2.      Pendapat Kedua: Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah: “Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan ber-mu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang rmaknanya perintah. Juga dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]. Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-rahn dalam keadaan safar ada dalam Alquran dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak. Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya: “Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)” [Al-Baqarah; 283]. Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangan, dan di sini tidak terdapat adanya larangannya. [Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/112-112]. Yang rojih adalah pendapat pertama, Wallahu A’lam.

 

 

Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS)

Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS); Adalah suatu bentuk pembiayaan rekening koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah.
Berikut ini adalah beberapa ketentuan dalam PRKS:
1.      PRKS dilakukan dengan wa’ad untuk wakalah dalam melakukan:
a.       pembelian barang yang diperlukan oleh nasabah dan menjualnya secara murabahah kepada nasabah tersebut; atau
b.      menyewa (ijarah)/mengupah barang/jasa yang diperlukan oleh nasabah dan menyewakannya lagi kepada nasabah tersebut.
2.      Besar keuntungan (ribh) yang diminta oleh LKS dan besar sewa dalam ijarah kepada nasabah harus disepakati ketika wa’d dilakukan.
3.      Transaksi murabahah kepada nasabah dan ijarah kepada nasabah harus dilakukan dengan akad.
4.      PRKS dapat dilakukan pula dengan wa’d untuk memberikan fasilitas pinjaman al-qardh.
5.      Dalam menggunakan transaksi PRKS, penarikan dana tidak boleh dilakukan secara langsung oleh nasabah.

Musyarakah pada PRKS

Ketentuan akad pada PRKS musyarakah adalah
1.      Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) musyarakah dilakukan berdasarkan akad musyarakah dan boleh disertai dengan wa’ad.
2.      LKS dan nasabah bertindak selaku mitra (syarik), yang masing-masing berkewajiban menyediakan modal dan kerja. LKS boleh mewakilkan kepada nasabah dalam melaksanakan usaha sepanjang disepakati pada saat akad.
3.      Nisbah bagi hasil untuk masing-masing pihak disepakati pada saat akad.
4.      Dasar perhitungan bagi hasil boleh menggunakan jumlah dana yang telah terpakai dan keuntungan yang diperoleh dari usaha.
5.      LKS boleh memberikan sebagian keuntungan yang diperolehnya kepada nasabah.
6.      Ketentuan tentang wa’d dan akad merujuk kepada Fatwa No. 30/DSN-MUI/VI/2002 tentang PRK Syariah dan Fatwa No. 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility.
7.      Fatwa DSN nomor: 8/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah berlaku pula dalam pelaksanaan PRKS musyarakah.

Ta'widh pada Pembiayaan

Ta’widh (ganti rugi); Adalah kerugian yang benar-benar dialami secara riil oleh para pihak dalam transaksi yang wajib diganti oleh pihak yang menimbulkan kerugian tersebut.
Ganti rugi dalam bank syariah biasanya terjadi pada akibat penundanundaan pembayaran oleh nasabah dalam kondisi mampu. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).

Ketentuan Ta’widh

Ketentuan ta’widh adalah sebagai berikut:
1.      Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2.      Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3.      Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
4.      Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
5.      Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dayn), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.
6.      Dalam akad mudharabah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
7.      Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
8.      Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
9.      Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
10.  Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

 

Pembiayaan Multijasa

Multijasa Adalah pembiayaan yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu jasa.
Ketentuan pembiayaan multijasa pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah sebagai berikut:
1.      Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad ijarah atau Kafalah.
2.      Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.
3.      Dalam hal LKS menggunakan akad Kafalah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Kafalah.
4.      Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.
5.      Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk persentase.

Line Facility

Line facility (at-Tashilat); Adalah fasilitas plafon pembiayaan dalam jangka waktu tertentu untuk masabah tertentu dengan ketentuan yang disepakati dan mengikat secara moral.
Ketentuan dan syarat pada fasilitas plafon pembiayaan line facility adalah sebagai berikut:
1.      Line facility boleh dilakukan berdasarkan wa’d dan dapat digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan tertentu sesuai prinsip syariah.
2.      Akad yang digunakan dalam pembiayaan tersebut di atas dapat berbentuk akad murabahah, istishna’, mudharabah, musyarakah, dan ijarah.
3.      LKS hanya boleh mengambil margin, bagi hasil dan/atau fee atas akad-akad yang direalisasikan dari Line Facility.
4.      Penetapan margin, nisbah bagi hasil dan/atau fee (ujrah) yang diminta oleh LKS harus mengacu kepada ketentuan-ketentuan masing-masing akad dan ditetapkan pada saat akad tersebut dibuat.
5.      Pelaksanaan akad-akad pembiayaan yang mengikuti Line Facility harus berpedoman pada Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN nomor: 06/DSNMUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’, Fatwa DSN nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Fatwa DSN nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, Fatwa DSN nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah

Pembiayaan Pengurusan Haji

Pembiayaan Pegurusan Haji Adalah jasa pelayanan keuangan pengurusan haji dan talangan pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
Berikut adalah ketentuan dalam pembiayaan pengurusan haji:
1.      Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
2.      Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3.      Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4.      Besar imbalan jasa ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.












JASA ( WAKALAH,TRANSFER,KAFALAH,HAWALAH,ANJAK PIUTANG,SAVE DEPOSIT BOX,L/C,SHARF,KARTU KREDIT,SWBI,JU’ALAH,SBIS,PUAS )
*  WAKALAH

Definisi Wakalah

Wakalah; Perwakilan, penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandate (power of attorney) adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
Berikut ini adalah ketentuan tentang wakalah pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS):
1.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2.      Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak

Ketentuan Umum tentang Wakalah

Berikut adalah ketentuan umum mengenai wakalah:
1.      Suatu transaksi yang dilakukan oleh seorang penerima kuasa dalam hal hibah, pinjaman, gadai, titipan, peminjaman, kerja sama, dan kerja sama dalam modal/usaha, harus disandarkan kepada kehendak pemberi kuasa.
2.      Jika transaksi tersebut tidak merujuk untuk diatasnamakan kepada pemberi kuasa, transaksi itu tidak sah.
3.      Transaksi pemberian kuasa sah jika kekuasaannya dilaksanakan oleh penerima kuasa dan hasilnya diteruskan kepada pemberi kuasa.
4.      Hak dan kewajiban di dalam transaksi pemberian kuasa dikembalikan kepada pihak pemberi kuasa.
5.      Barang yang diterima pihak penerima kuasa dalam kedudukannya sebagai penerima kuasa penjualan, pembelian, pembayaran, atau penerimaan pembayaran utang atau barang tertentu, barang itu dianggap menjadi barang titipan.
6.      Jika seorang atau badan usaha yang berutang mengirim sejumlah uang sebagai pembayaran utangnya melalui penerima kuasa kepada yang berpiutang dan uang itu hilang ketika ada di tangan penerima kuasanya sebelum diterima oleh yang berpiutang, yang berutang itu harus bertanggung jawab mengganti kerugian.
7.      Bila penerima kuasa berasal dari pihak yang berpiutang, yang berpiutang harus bertanggung jawab mengganti kerugian.
8.      Jika seseorang atau badan usaha menunjuk dua orang secara bersamaan untuk menjadi penerima kuasanya, tidak cukup satu orang saja yang bertindak sebagai penerima kuasa.
9.      Pihak yang telah ditunjuk sebagai penerima kuasa untuk suatu masalah tertentu, tidak berhak menunjuk yang lain sebagai penerima kuasa tanpa izin yang memberikan kuasa.
10.  Pihak yang ditunjuk oleh penerima kuasa akan menjadi penerima kuasa dari yang memberikan kuasa.
11.  Penerima kuasa yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum secara mutlak, ia bisa melakukan perbuatan hukum secara mutlak.
12.  Penerima kuasa yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum secara terbatas, ia hanya bisa melakukan perbuatan hukum secara terbatas.
13.  Jika disyaratkan upah bagi penerima kuasa dalam transaksi pemberian kuasa, penerima kuasa berhak atas upahnya setelah memenuhi tugasnya.
14.  Jika pembayaran upah tidak disyaratkan dalam transaksi, dan penerima kuasa itu bukan pihak yang bekerja untuk mendapat upah, pelayanannya itu bersifat kebaikan saja dan ia tidak berhak meminta pembayaran.

Muwakil

Muwakil; Pemberi kuasa adalah Pihak yang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakili kepentingannya. Muwakkil termasuk salah satu rukun yang harus ada dalam transaksi yang mengacu pada prinsip wakalah.

Berbagai Jenis Wakalah

Wakalah Ammah adalah jenis akad wakalah, masalah yang diwakilkan dibatasi dalam urusan yang telah ditentukan sewaktu penyerahan atau pendelegasian suatu urusan yang dimaksud.
Wakalah bil Ujrah adalah
1.      kombinasi dua akad yang dilakukan untuk memberikan fasilitas pembiayaan L/C, di mana nasabah memiliki dana yang cukup. Wakalah bil ujrah dan qard kombinasi tiga akad yang dilakukan untuk memberikan fasilitas pembiayaan L/C bila nasabah tidak mencukupi dananya.
2.      Akad wakalah dengan memberikan fee atau imbalan kepada wakil.
Wakalah bil Ujrah dan Murabahah adalah kombinasi tiga akad yang dilakukan untuk memberikan fasilitas pembiayaan L/C bila nasabah tidak mencukupi dananya dan berlaku pembiayaan ekspor.
Wakalah bil Ujrah dan Musyarakah adalah kombinasi tiga akad yang yang dilakukan untuk memberikan fasilitas pembiayaan L/C bila nasabah tidak mencukupi dananya dan berlaku pembiayaan ekspor.
Wakalah Muqayyad adalah jenis akad wakalah, masalah yang diwakilkan dibatasi dalam urusan yang telah ditentukan sewaktu penyerahan atau pendelegasian suatu urusan yang dimaksud.
Wakalah Muthlaq adalah jenis pemberian kekuasaan tanpa adanya batasan waktu dan masalah yang diwakilkan.

Rukun dan Syarat Wakalah

Rukun dan Syarat Wakalah adalah sebagai berikut:
1.      Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan), adalah :
a.       Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b.      Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
2.      Syarat-syarat wakil (yang mewakili) :
a.       Cakap hukum,
b.      Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
c.       Wakil adalah orang yang diberi amanat.
3.      Hal-hal yang diwakilkan :
a.       Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
b.      Tidak bertentangan dengan syariah Islam,
c.       Dapat diwakilkan menurut syariah Islam.

Pemberian kuasa untuk Penjualan pada Wakalah

Pemberian kuasa untuk Penjualan pada Wakalah memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Pihak penerima kuasa yang telah diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan suatu proses transaksi jual beli berhak menjual harta milik pemberi kuasa dengan harga yang wajar
2.      Jika pemberi kuasa telah menentukan harga, penerima kuasa itu tidak boleh menjual lebih rendah dari harga yang telah ditentukan.
3.      Jika penerima kuasa menjual dengan harga yang lebih rendah, transaksi tersebut dihentikan sementara (mauquf) atau tergantung pada izin pemberi kuasa.
4.      Pemberi kuasa berhak menuntut ganti rugi kepada penerima kuasa yang menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar atau lebih rendah dari harga yang disepakati dalam akad tanpa izin.
5.      Penerima kuasa tidak boleh membeli barangnya sendiri untuk dan atas nama pemberi kuasa kecuali atas izin pemberi kuasa.
6.      Penerima kuasa dibolehkan menjual secara mutlak jika kuasa penjualan bersifat mutlak.
7.      Penerima kuasa dibolehkan menjual secara terbatas jika kuasa penjualan bersifat terbatas.
8.      Jika dalam kuasa penjualan dinyatakan secara mutlak, penerima kuasa boleh menjual harta secara tunai atau cicilan.
9.      Jika dalam kuasa penjualan dinyatakan bahwa penjualan barang harus dilakukan secara tunai, penerima kuasa hanya boleh menjualnya secara tunai.
10.  Jika dalam kuasa penjualan dinyatakan bahwa penerima kuasa hanya boleh menjual harta secara keseluruhan, penerima kuasa tidak boleh menjual sebagiannya saja kecuali setelah mendapat izin dari pemberi kuasa.
11.  Penerima kuasa berhak menuntut jaminan dari pembeli benda yang pembayarannya dicicil meskipun tanpa izin dari pemberi kuasa.
12.  Penerima kuasa boleh menjual harta jaminan dari pembayaran cicilan yang macet setelah mendapat izin dari pemberi kuasa.
13.  Penerima kuasa tidak bertanggung jawab atas pembiayaan yang macet yang terjadi bukan karena kelalaiannya.
14.  Pemberi kuasa dibolehkan menerima pembayaran secara langsung dari benda yang dijual oleh penerima kuasa dengan sepengetahuan penerima kuasa.
15.  Penerima kuasa penjualan berhak menerima imbalan dari prestasinya berdasarkan kesepakatan dalam akad.
16.  Jika dalam akad tidak ditentukan mengenai imbalan bagi penerima kuasa, penerima kuasa tidak berhak menuntut imbalan.
17.  Pihak penerima kuasa secara professional berhak mendapatkan imbalan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kesepakatan.
18.  Jika seseorang memberi perintah kepada orang lain untuk membayarkan sejumlah uang kepada pihak ketiga, atau kepada negara, dan orang ini membayarkan uang yang diambil dari hartanya sendiri, ia boleh melaksanakan pertanggungan itu kepada orang yang memberi perintah, baik pertanggungan itu disyaratkan atau tidak.
19.  Pelaksanaan tersebut berlaku baik ia menggunakan ungkapan yang menunjukkan pertanggungan, atau tidak.
20.  Jika seseorang memerintah orang lain untuk membayar utangnya, ia hanya dapat membayar sesuai dengan apa yang diperintahkan.
21.  Jika seseorang yang telah mendapat perintah dari orang lain untuk membayar utangnya, lalu menjual kekayaan miliknya kepada yang berpiutang, dan selanjutnya ia membayar utang orang itu dengan hasil penjualan tersebut, orang yang membayar utang itu berhak mendapat ganti sejumlah itu dari orang yang telah memberi perintah, berapa pun jumlahnya.
22.  Jika seseorang menjual kekayaannya sendiri kepada yang berpiutang untuk jumlah yang lebih besar dari nilai utang, orang yang memberi perintah agar utangnya dibayarkan tidak boleh mengurangkan kelebihan itu dari utangnya.
23.  Jika seseorang memerintah orang lain untuk menanggung pembiayaan dirinya, atau keluarganya, orang tersebut berhak mendapat ganti sejumlah uang yang pantas dari orang yang memberi perintah, baik penggantian sejumlah uang tersebut disyaratkan ataupun tidak.
24.  Jika seseorang memerintahkan orang lain agar meminjamkan sejumlah uang, atau memberi hibah kepada orang ketiga, dan orang tersebut mengerjakan perintah itu, ia berhak mendapat ganti sejumlah uang dari orang yang telah memberi perintah.
25.  Jika orang yang member perintah itu tidak membuat persyaratan semacam pertanggungan dengan mengatakan bahwa ia akan menggantinya dengan uang, atau bahwa orang yang membayarkan uangnya, bisa kemudian mendapat ganti dari dia, tetapi ia hanya memerintahkan untuk membayar, orang yang membayar tadi tak mempunyai pertanggungan terhadap orang pemberi perintah.
26.  Suatu perintah yang diberikan oleh orang tertentu, hanya berlaku untuk barang milik orang itu saja.
27.  Jika seseorang memerintahkan orang lain untuk membayar utangnya dengan menyebut jumlahnya yang harus dibayar dari harta orang yang diperintah dan orang ini berjanji akan melakukan hal itu, tapi nyatanya gagal membayar utang itu, orang itu tidak bisa dipaksa untuk membayar utang itu hanya karena ia telah berjanji untuk melakukan hal itu.
28.  Jika orang yang diperintah untuk itu ternyata mempunyai utang kepada orang yang memerintah, atau ia menyimpan uang yang dititipkan oleh pemberi perintah untuk pengamanan, kemudian ia diperintah untuk membayar utang yang memerintah, ia dipaksa untuk membayar utangnya.
29.  Jika orang yang memberi perintah itu, meminta agar barang tertentu milik orang yang memerintah dijual dan utangnya dibayar dari hasil penjualan barangnya itu, orang yang diperintah itu tidak wajib untuk menjual dan membayar utangnya tersebut, jika ia seorang penerima kuasa yang tidak diupah.
30.  Jika seseorang penerima kuasa yang diupah, ia wajib untuk menjual hartanya dan membayar utangnya dari hasil penjualan tersebut.
31.  Jika seseorang memberi sejumlah uang kepada orang lain dengan memerintahkan agar ia membayarkan uang itu kepada seseorang yang meminjaminya, orang lain yang berpiutang kepada orang yang memberi perintah itu tidak memiliki hak menuntut bagian dari uang itu dan orang yang diperintah hanya boleh memberikan uang itu kepada yang berpiutang yang disebut dalam perintah itu.
32.  Jika seseorang memberikan sejumlah uang kepada orang lain dengan perintah untuk dibayarkan pada utang dari orang ketiga, dan kemudian diketahui bahwa pemilik uang itu telah meninggal sebelum uang itu diserahkan kepada yang berpiutang, uang itu harus disatukan dulu dengan harta peninggalannya, dan yang berpiutang itu baru bisa menuntut pembayarannya dari harta peninggalan orang itu.
33.  Jika seseorang memberikan sejumlah uang kepada orang lain, untuk dibayarkan kepada orang yang meminjaminya dengan suatu perintah bahwa uang itu tidak boleh diserahkan, kecuali tanda penerimaan ditandatangani pada kuitansi atau tanda penerimaan yang disiapkan untuk itu, dan orang yang diperintah itu menyerahkan uang itu tanpa mendapat tanda bukti penerimaan uang, kemudian yang berpiutang itu menyangkal bahwa ia telah menerima uang itu, sedangkan yang berutang tidak dapat membuktikan pembayaran tersebut, yang berutang wajib membayar utang untuk kedua kalinya.
34.  Seseorang yang berutang dapat menuntut orang yang pernah diserahi uang untuk mengganti kerugiannya.

Wakil pada Wakalah

Wakiil (agent); Orang yang mewakili (representative); Pihak yang diberi mandat untuk mewakili. Orang atau pihak yang diberi amanat untuk melakukan suatu pekerjaan dalam akad wakalah.
Dalam akad wakalah pihak bank berfungsi sebagai wakil. Termasuk rukun yang harus ada dalam transaksi yang menggunakan akad wakalah.

Pemberian Kuasa untuk Gugatan pada Wakalah

Pemberian Kuasa untuk Gugatan pada Wakalah memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Baik penggugat maupun tergugat boleh menguasakan kepada orang lain yang mereka pilih untuk bertindak sebagai penerima kuasa dalam perkara gugatan.
2.      Seseorang yang menunjuk orang lain sebagai penerima kuasanya untuk perkara gugatan, secara sah boleh melarangnya untuk membuat suatu pengakuan terhadapnya, dengan demikian suatu pengakuan yang dibuat oleh penerima kuasa terhadap kliennya adalah tidak sah.
3.      Jika penerima kuasa membuat pengakuan di Pengadilan, dan ia tidak diberi wewenang (kuasa) untuk hal itu, kekuasaan penerima kuasa tersebut dapat dicabut.
4.      Pemberian kuasa untuk gugatan tidak termasuk pemberian kuasa untuk menerima barang kecuali dinyatakan lain secara khusus dalam surat kuasa.

Pemberian Kuasa untuk Pembelian

Pemberian Kuasa untuk Pembelian memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Sesuatu yang dikuasakan kepada penerima kuasa harus diketahui dengan jelas agar bisa dilaksanakan.
2.      Pemberi kuasa harus menyatakan jenis barang yang harus dibeli.
3.      Jika jenis barang itu sangat bervariasi, pemberi kuasa harus menyebutkan variannya.
4.      Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, transaksi pemberian kuasa tidak sah.
5.      Jika penerima kuasa menyalahi akad, pemberi kuasa berhak menolak atau menerima perbuatan tersebut.
6.      Meskipun barang yang dibeli itu menguntungkan pemberi kuasa, penerima kuasa dianggap telah membeli barang untuk dirinya sendiri.
7.      Jika harga suatu barang tidak disebutkan dalam akad, pihak yang ditunjuk sebagai penerima kuasa bisa membeli barang itu dengan harga pasar, atau pada suatu harga yang sedikit perbedaannya dari harga pasar.
8.      Jika harga suatu barang tidak disebutkan dalam akad, pihak yang ditunjuk sebagai penerima kuasa bisa membeli barang itu dengan harga pasar, atau pada suatu harga yang sedikit perbedaannya dari harga pasar.
9.      Jika nilai dan harga barang telah ditentukan dalam akad, barang itu tidak boleh dibeli bila tidak sesuai dengan harga yang telah ditentukan
10.  Jika penerima kuasa membeli sesuatu dengan harga yang sangat jauh berbeda dari harga yang wajar, pemberi kuasa tidak terikat oleh pembelian itu.
11.  Jika pihak yang ditunjuk sebagai penerima kuasa pembelian membeli suatu barang dengan cara menukarkannya dengan barang lain, transaksi pemberian kuasa itu berlaku untuk musim tersebut.
12.  Jika satu pihak menunjuk pihak lain sebagai penerima kuasa untuk membeli suatu barang tertentu tidak boleh membeli barang itu untuk dirinya sendiri.
13.  Apabila setelah membeli barang itu penerima kuasa mengatakan bahwa ia telah membeli barang itu untuk dirinya sendiri, barang itu tetap menjadi milik pemberi kuasa.
14.  Jika penerima kuasa membeli barang dengan harga lebih tinggi dari harga yang telah ditetapkan oleh pemberi kuasa, atau membelinya dengan harga yang tidak wajar, barang itu jadi milik penerima kuasa.
15.  Barang yang dibeli oleh penerima kuasa menjadi miliknya jika telah mendapat izin dari pemberi kuasa untuk membeli barang atas nama penerima kuasa.
16.  Jika penerima kuasa menyatakan bahwa ia akan membeli barang untuk dirinya di hadapan pemberi kuasa, barang itu menjadi miliknya.
17.  Jika dua pihak secara terpisah menunjuk pihak yang sama sebagai penerima kuasanya untuk membeli sesuatu barang, barang itu akan menjadi milik pihak pemberi kuasa.
18.  Pihak penerima kuasa yang ditunjuk untuk melakukan pembelian suatu barang tidak boleh menjual barang miliknya sendiri kepada pemberi kuasa.
19.  Jika penerima kuasa khawatir akan terjadi kerusakan pada barang yang dibelinya sebelum diserahkan kepada pemberi kuasa, ia sendiri berhak mengembalikan barang tersebut kepada penjual.
20.  Pembelian benda yang ‘aib karena kekeliruan yang diakukan oleh penerima kuasa dapat dibatalkan.
21.  Penerima kuasa dapat membatalkan jual beli setelah mendapat izin dari pemberi kuasa.
22.  Penerima kuasa tidak berhak mengembalikan barang yang ‘aib karena kekeliruan kepada pihak penjual kecuali setelah mendapat izin dari pihak pemberi kuasa pembelian.
23.  Jika pihak penerima kuasa membeli suatu barang untuk dibayar pada waktu yang akan datang, penerima kuasa tidak berhak meminta pembayaran tunai kepada pemberi kuasa.
24.  Jika penerima kuasa itu membeli dengan pembayaran tunai saat itu juga, dan penjual kemudian menangguhkan tanggal pembayaran, penerima kuasa itu berhak menuntut pembayaran tunai dari pemberi kuasanya.
25.  Jika penerima kuasa untuk pembelian membayar harga dari uangnya sendiri lalu mengambil barang yang dibelinya, ia bisa menuntut hak pertanggungannya kepada pemberi kuasa.
26.  Seorang penerima kuasa bisa mendapat ganti uang yang telah dibayarkannya, atau melakukan hak penahanan atas barang itu sampai pemberi kuasa membayarnya.
27.  Jika barang yang dibeli oleh penerima kuasa secara tak sengaja rusak atau hilang tatkala masih berada di tangannya, gantirugi dibayar oleh pemberi kuasa dan tidak boleh ada potongan harga.
28.  Jika penerima kuasa melakukan hak penahanan atas barang untuk mendapatkan pembayaran, namun barang tersebut rusak atau hilang karena kelalaiannya, penerima kuasa harus mengganti kerugian.
29.  Pihak penerima kuasa pembelian tidak boleh menghapuskan suatu transaksi jual beli tanpa izin dari pemberi kuasa.

 

Transfer

Transfer adalah kiriman uang yang diterima bank termasuk hasil inkaso yang ditagih melalui bank tersebut yang akan diteruskan kepada bank lain untuk dibayarkan kepada nasabah (transfer).
Pihak yang terlibat dalam transaksi transfer adalah
1.      Nasabah, yaitu sebagai pihak pemilik dana (pengirim) atau penerima dana yang akan memindahkan dananya/menerima sejumlah dana dari pihak pengirim melalui jasa pengiriman uang.
2.      Bank penarik (drawer bank), yaitu bank pelaku transfer atau bank yang menerima dana dan amanat dari nasabah untuk ditransfer kepada drawee atau bank tertarik yang kemudian diserahkan kepada penerima dana (beneficiary);
3.      Bank tertarik (drawee bank) yaitu bank yang menerima transfer masuk dari drawer bank untuk diteruskan/dibayarkan kepada penerima (beneficiary);
4.      Beneficiary adalah pihak akhir yang berhak menerima dana transfer dari drawee bank. Beneficiary dalam ketentuan ini adalah beneficiary yang tidak/belum memiliki rekening pada bank tertarik.

Definisi Kafala

Kafalah adalah:
1.      Akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain, di mana pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
2.      Akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memebuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil); Mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

Rukun dan Syarat Kafalah

Rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut:
1.      Pihak Penjamin (Kafiil);
a.       Baligh (dewasa) dan berakal sehat;
b.      Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (rida) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2.      Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu):
a.       Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin;
b.      Dikenal oleh penjamin.
3.      Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu):
a.       Diketahui identitasnya;
b.      Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa;
c.       Berakal sehat.
4.      Objek Penjaminan (Makful Bihi):
a.       Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan;
b.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin;
c.       Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan;
d.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya;
e.       Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan).

Macam Kafalah

Kafalah al-Muallaqah adalah jaminan bersyarat (conditional guarantee).
Kafalah al-Munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu, seperti dalam bentuk performance bonds “jaminan prestasi”.
Kafalah bil Maal adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang dalam aplikasinya di perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (Advance payment bond) atau jaminan pembayaran (payment bond).
Kafalah bil Mal adalah jaminan dengan menggunakan harta/aset.
Kafalah bin Nafs adalah jaminan individu (personal guarantee).
Kafalah bit Taslim adalah jaminan pengembalian.
Kafalah Muallaqah adalah jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun waktu tertentu untuk dan untuk tujuan tertentu, dalam perbankan diterapkan jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bond) atau jaminan penawaran (bid bond).

 

Kafalah Muthlaqah dan Muqayyadah

Kafalah Muthlaqah dan Muqayyadah adalah kafalah yang dilakukan dengan cara muthlaqah/tidak dengan syarat atau muqayyadah/dengan syarat,
dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Dalam akad kafalah yang tidak terikat persyaratan, kafalah dapat segera dituntut jika utang itu harus segera dibayar oleh debitor.
2.      Dalam akad kafalah yang terikat persyaratan, penjamin tidak dapat dituntut untuk membayar sampai syarat itu dipenuhi.
3.      Dalam hal kafalah dengan jangka waktu terbatas, tuntutan hanya dapat diajukan kepada penjamin selama jangka waktu kafalah.
4.      Penjamin tidak dapat menarik diri dari kafalah setelah akad ditetapkan kecuali dipersyaratkan lain.

Pembebasan dari Akad Kafalah

Pembebasan dari Akad Kafalah memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Apabila penjamin telah menyerahkan barang jaminan kepada pihak pemberi pinjaman di tempat yang sah menurut hukum, penjamin bebas dari tanggung jawab.
2.      Apabila penjamin telah menyerahkan peminjam kepada pihak pemberi pinjaman sesuai dengan ketentuan dalam akad atau sebelum waktu yang ditentukan, penjamin bebas dari tanggung jawab.
3.      Penjamin dibebaskan dari tanggung jawab jika peminjam meninggal dunia.
4.      Penjamin dibebaskan dari tanggung jawab apabila peminjam membebaskannya.
5.      Pembebasan penjamin tidak mengakibatkan pembebasan utang peminjam.
6.      Pembebasan utang bagi peminjam mengakibatkan pembebasan tanggung jawab bagi penjamin.
7.      Penjamin dibebaskan dari tanggung jawab jika pihak pemberi pinjaman meninggal jika peminjam adalah ahli waris tunggal dari pihak pemberi pinjaman.
8.      Jika penjamin atau peminjam berdamai dengan pihak pemberi pinjaman mengenai sebagian dari utang, keduanya dibebaskan dari akad jaminan jika persyaratan pembebasan dimasukkan ke dalam akad perdamaian mereka.
9.      Jika penjamin memindahkan tanggung jawabnya kepada pihak lain dengan persetujuan pihak pemberi pinjaman dan peminjam, penjamin dibebaskan dari tanggung jawab.
10.  Penjamin wajib bertanggung jawab untuk membayar utang peminjam jika peminjam tidak melunasi utangnya.
11.  Penjamin wajib mengganti kerugian untuk barang yang hilang atau rusak karena kelalaiannya.

Kafalah atas Diri dan Harta

Kafalah atas Diri dan Harta memiliki ketentuan sebagai berikut:
1.      Akad kafalah terdiri atas kafalah atas diri dan kafalah atas harta.
2.      Pihak pemberi pinjaman memiliki hak memilih untuk menuntut pada penjamin atau kepada pihak peminjam.
3.      Dalam melaksanakan hak tersebut kepada salah satu pihak dari kedua pihak itu tidak berarti bahwa pihak pemberi pinjaman kehilangan hak terhadap yang lainnya.
4.      Pihak-pihak yang mempunyai utang bersama berarti saling menjamin satu sama lain, dan salah satu pihak dari mereka bisa dituntut untuk membayar seluruh jumlah utang.
5.      Jika ada suatu syarat pada akad jaminan bahwa peminjam menjadi bebas dari tanggung jawabnya, akad itu berubah menjadi hawalah/pemindahan utang.
6.      Jika peminjam melakukan hawalah/pemindahan utang, maka debitor lain yang dipindahkan utangnya berhak menuntut pembayaran kepada salah satu pihak dari mereka yang diinginkannya. 
7.      Jika penjamin meninggal dunia, ahli warisnya berkewajiban untuk menggantikannya atau menunjuk penggantinya.
8.      Jika ahli waris gagal dalam menghadirkan peminjam, maka harta peninggalan penjamin harus digunakan untuk membayar utang yang dijaminnya.
9.      Jika pemberi pinjaman meninggal dunia, ahli warisnya dapat menuntut sejumlah uang jaminan kepada penjamin.
10.  Jika pihak pemberi pinjaman menangguhkan tuntutannya kepada peminjam, ia dianggap telah pula menangguhkan tuntutannya kepada penjamin.
11.  Pihak pemberi pinajaman dapat memaksa peminjam untuk membayar utang dengan segera apabila diduga yang bersangkutan akan melarikan diri dari tanggung jawabnya.
12.  Pengadilan dapat memaksa peminjam untuk mencari penjamin atas permohonan pihak pemberi pinjaman.
13.  Jika penjamin telah melunasi utang peminjam kepada pihak pemberi pinjaman, penjamin berhak menuntut kepada peminjam sehubungan dengan kafalahnya.
14.  Jika penjamin hanya mampu melunasi sebagian utang peminjam, ia hanya berhak menuntut sebesar utang yang telah dibayarkannya.

 

Garansi Bank atau Bank Garansi atau Kafalah pada Bank Syariah

Garansi Bank adalah suatu jaminan yang diberikan Bank yang menyatakan, bahwa pihak bank akan memenuhi kewajiban kepada pihak penerima jaminan (bouwheer) apabila pihak yang dijamin/nasabah tidak dapat atau gagal memenuhi kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan (cedera janji/wanprestasi).
Jenis-jenis Garansi Bank adalah:
1.      Bank Garansi Umum: garansi bank yang diterbitkan untuk menjamin transaksi secara umum seperti perjanjian jual bei, perjanjian keagenan, dan lain-lain.
2.      Bid/Tender Bid: garansi bank yang diterbitkan untuk keperluan mengikuti tender suatu proyek dengan ketentuan bank akan menjamin pembayaran sejumlah uang kepada beneficiary apabila pihak applicant tidak memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam persyaratan tender dan atau menarik diri setelah ditunjuk sebagai pemenang tender.
3.      Advance Payment Bond: garansi bank yang diberikan untuk menjamin applicant atas penarikan sejumlah uang sebagai uang muka dari pihak yang dijamin dan akan digunakan untuk keperluan proyek yang dimaksud dalam kontrak.
4.      Performance Bond: garansi bank yang diterbitkan bank dalam rangka penjaminan terhadap pelaksanaan pekerjaan suatu proyek/transaksi oleh pihak yang dijamin dengan ketentuan pihak bank akan membayar sejumlah uang kepada pihak penerima jaminan (beneficiary) apabila ternyata pihak yang dijamin tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Surat Perjanjian (kontrak)/Surat Perintah Kerja.
5.      Retention/Maintenance Bond: garansi bank yang diperlukan untuk mendapatkan sisa uang atas proyek yang telah selesai dikerjakan (100%) berdasarkan kontrak. Sisa uang dimaksud sebenarnya baru dibayar pihak penerima jaminan setelah selesainya masa pemeliharaan pekerjaan (dinyatakan dengan Certificate of Satisfaction).
6.      Standby Letter of Credit: garansi bank yang diterbitkan oleh bank (issuing bank) atas permintaan applicant (debitur atau pihak lain yang disetujui debitu) yang memberi hak kepada penerima jaminan/pihak ketiga (beneficiary) untuk mencairkan dana sejumlah yang dinyatakan dalam standby L/C apabila applicant tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam standby L/C tersebut. Standby L/C internasional tunduk pada UCPDC500.
7.      Shipping Guarantee: surat jaminan yang diterbitkan bank atas kepentingan/permintaan importer dan ditujukan kepada Maskapai Pelayaran bahwa importer adalah pihak yang berhak menguasai barang yang diangkut. Shipping guarantee merupakan pengganti Bill of lading (B/L) yaitu dokumen resmi pengambilan barang.

Definisi Performance Bond

Performance Bond adalah bank garansi yang diberikan kepada kontraktor, dengan kontraktor tersebut telah memenangkan proyek dan sedang menjalankan proyek tersebut biasanya setoran tunai untuk diblokir atau ke setoran bank garansi sebesar 10%-30%, bisa juga dikover dengan jaminan fixed aset lainnya, dan juga bersifat noncash loan.

Definisi Hawalah

Hawalah; Pengalihan utang adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang bersedia menanggungnya dengan nilai yang sama dengan nilai nominal utangnya.

Muhal, Muhil, Muhal Alaih, Muhal Bih

Muhal adalah Pihak yang berpiutang pada transaksi hawalah; disebut juga muhtal. Termasuk salah rukun yang harus ada dalam transaksi yang menggunakan akad hawalah.
Muhal Alaih adalah Pihak yang menerima pengalihan piutang dari muhil. Termasuk salah satu rukun yang harus ada dalam transaksi yang menggunakan akad hawalah. Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, bank bertindak selaku muhal alaih.
Muhal Bihi adalah Objek pengalihan, yaitu utang atau piutang.
Muhil adalah Pihak yang berutang pada transaksi hawalah; adalah salah satu rukun yang harus ada dalam transaksi yang menggunakan akad hawalah.

Ketentuan Hawalah bil Ujrah

Hawalah Bil Ujrah adalah Hawalah dengan pengenaan ujrah / fee.
Berikut ini ketentuan pada hawalah bil ujrah:
1.      Hawalah bil ujrah hanya berlaku pada hawalah muthlaqah.
2.      Dalam hawalah muthlaqah, muhal ’alaih boleh menerima ujrah/fee atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
3.      Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
4.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
5.      Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern;
6.      Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang terkait.
7.      Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
8.      Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
9.      LKS yang melakukan akad Hawalah bil Ujrah boleh memberikan sebahagian fee hawalah kepada shahibul mal.

Alternatif Akad pada Hawalah

Akad hawalah dapat dilakukan melalui empat alternative berikut:
1. Alternatif I:
1.      LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
2.      Nasabah menjual aset kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3.      LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
4.      Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSNMUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud alternatif I ini.
2. Alternatif II:
1.      LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.
2.      Bagian aset yang dibeli oleh LKS adalah bagian aset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
3.      LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
4.      Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif II ini.
3. Alternatif III:
1.      Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah dapat melakukan akad ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.
2.      Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3.      Akad ijarah tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan. (4) Besar imbalan jasa ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah.
4. Alternatif IV:
1.      LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh;
2.      Nasabah menjual aset kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3.      LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
4.      Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.

Rukun dan Syarat Hawalah

Rukun dan Syarat Hawalah serta Ketentuannya:
1.      Rukun hawalah/pemindahan utang terdiri atas: a. muhil/peminjam; b. muhal/pemberi pinjaman; c. muhal alaih/penerima hawalah; d. muhal bihi/utang; dan e. akad.
2.      Akad dinyatakan oleh para pihak secara lisan, tulisan, atau isyarat.
3.      Para pihak yang melakukan akad hawalah/pemindahan utang harus memiliki kecakapan hukum;
4.      Peminjam harus memberitahukan kepada pemberi pinjaman bahwa ia akan memindahkan utangnya kepada pihak lain.
5.      Persetujuan pemberi pinjaman mengenai rencana peminjam untuk memindahkan utang adalah syarat dibolehkannya akad hawalah/pemindahan utang.
6.      Akad hawalah/pemindahan utang dapat dilakukan jika pihak penerima hawalah/pemindahan utang menyetujui keinginan peminjam.
7.      Hawalah/pemindahan utang tidak disyaratkan adanya utang dari penerima hawalah/pemindahan utang, kepada pemindah utang.
8.      Hawalah/pemindahan utang tidak disyaratkan adanya sesuatu yang diterima oleh pemindah utang dari pihak yang menerima hawalah/pemindahan utang sebagai hadiah atau imbalan.

Ketentuan Umum Hawalah

Berikut ini adalah ketentuan umum pada hawalah:
1.      Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3.      Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4.      Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5.      Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6.      Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.

Hawalah Muqayyadah, Hawalah Muthlaqah, Hawalah wal Ijarah Muntahiyah bit Tamlik

Hawalah Muqayyadah adalah hawalah dengan muhil adalah orang yang berutang sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No. 12/DSNMUI/IV/2000 tentang Hawalah.
Hawalah Muthlaqah adalah Hawalah dengan muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ’alaih.
Hawalah Wal IMBT adalah Kombinasi dua akad yang dilakukan untuk mengambil alih pembiayaan dari bank lain dengan syarat: Penggunaan Hawalah jika untuk menutupi pokoknya saja dari Bank lain, sedangkan IMBT dilakukan ketika nasabah tersebut telah mendapatkan pembiayaan dari bank lain dengan diambil manfaatnya atau kegunaannya dan mengindari bai al innah.

Akibat Hawalah

Akibat Hawalah adalah sebagai berikut:
1.      Pihak yang utangnya dipindahkan, wajib membayar utangnya kepada penerima hawalah.
2.      Penjamin utang yang dipindahkan, kehilangan haknya untuk menahan barang jaminan.
3.      Utang pihak peminjam yang meninggal sebelum melunasi utangnya, dibayar dengan harta yang ditinggalkannya.
4.      Pembayaran utang kepada penerima hawalah/pemindahan utang harus didahulukan atas pihakpihak pemberi pinjaman lainnya jika harta yang ditinggalkan oleh peminjam tidak mencukupi.
5.      Akad hawalah/pemindahan utang yang bersyarat menjadi batal dan utang kembali kepada peminjam jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi.
6.      Peminjam wajib menjual kekayaannya jika pembayaran utang yang dipindahkan ditetapkan dalam akad bahwa utang akan dibayar dengan dana hasil penjualan kekayaannya.
7.      Pembayaran utang yang dipindahkan dapat dinyatakan dan dilakukan dengan waktu yang pasti, dan dapat pula dilakukan tanpa waktu pembayaran yang pasti.
8.      Pihak peminjam terbebas dari kewajiban membayar utang jika penerima hawalah/pemindahan utang membebaskannya.
9.      Apabila terjadi hawalah pada seseorang, kemudian orang yang menerima pemindahan utang tersebut meninggal dunia, pemindahan utang yang telah terjadi tidak dapat diwariskan.

Definisi Anjak Piutang

Anjak Piutang (Factoring); Fawatir; adalah:
1.      Kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan atas transaksi perdagangan dalam atau luar negeri; perusahaan yang melakukan anjak piutang disebut perusahaan anjak piutang (factoring).
2.      Suatu pengambilalihan utang dengan nilai lebih rendah daripada nilai ekonomi (discount).
Nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
Penganjak piutang: Pihak yang kegiatannya membeli piutang pihak lain dengan menanggung risiko tak terbayarnya utang (factor).

 

Ketentuan Akad pada Anjak Piutang

Berikut ini beberapa ketentuan akad pada anjak piutang secara syariah:
1.      Akad yang dapat digunakan dalam Anjak Piutang Secara Syariah adalah Wakalah bil Ujrah.
2.      Pihak yang berpiutang mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen penjualan kemudian menagih piutang kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang;
3.      Pihak yang ditunjuk menjadi wakil dari yang berpiutang untuk melakukan penagihan (collection) kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang untuk membayar;
4.      Pihak yang ditunjuk menjadi wakil dapat memberikan dana talangan (Qardh) kepada pihak yang berpiutang sebesar nilai piutang;
5.      Atas jasanya untuk melakukan penagihan piutang tersebut, pihak yang ditunjuk menjadi wakil dapat memperoleh ujrah/fee;
6.      Besar ujrah harus disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase yang dihitung dari pokok piutang;
7.      Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan atau sesuai kesepakatan dalam akad;
8.      Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).

Save Deposit Box (Bank Syariah)

Save Deposit Box adalah tempat penyimpanan barang berharga yang disediakan oleh bank.
Bank syariah menyediakan layanan Safe Deposit Box (SDB) dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Berdasarkan sifat dan karakternya, Safe Deposit Box dilakukan dengan menggunakan akad Ijarah (sewa).
2.      Rukun dan syarat Ijarah dalam praktik SDB merujuk pada fatwa DSN No.9/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
3.      Barang-barang yang dapat disimpan dalam SDB adalah barang yang berharga yang tidak diharamkan dan tidak dilarang oleh negara.
4.      Besar biaya sewa ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.      Hak dan kewajiban pemberi sewa dan penyewa ditentukan berdasarkan kesepakatan sepanjang tidak bertentangan dengan rukun dan syarat Ijarah.

 

Definisi L/C

L/C Letter of Credit adalah janji tertulis berdasarkan permintaan tertulis nasabah (applicant) yang mengikat Bank sebagai pembuka untuk membayar kepada penerima atau ordernya atau mengaksep dan membayar wesel pada saat jatuh tempo yang ditarik penerima, atau memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran kepada penerima, atau menegosiasikan wesel-wesel yang ditarik oleh penerima atas penyerahan dokumen.

Letter of Credit (L/C) dengan Akad Kafalah Bil Ujrah

Letter of Credit (L/C) dengan Akad Kafalah Bil Ujrah adalah transaksi perdagangan ekspor impor yang menggunakan jasa LKS berdasarkan akad Kafalah, dan atas jasa tersebut LKS memperoleh fee (ujrah).
L/C ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Seluruh rukun dan syarat akad Kafalah bil Ujrah merujuk pada fatwa No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah.
2.      Penerapan akad Kafalah dalam transaksi L/C ekspor maupun impor merujuk kepada fatwa No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah dan fatwa No. 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah.
3.      Fee atas transaksi akad Kafalah harus disepakati dan dituangkan di dalam akad.

Sharf

Sharf adalah pertukaran mata uang (money changer), baik antarmata uang sejenis maupun antarmata uang berlainan jenis.
Sharf an-Nuqud adalah transaksi penukaran mata uang secara tunai (spot). Contoh: penukaran mata uang Rupiah dengan mata uang Riyal.
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dilakukan dalam transaksi keuangan syariah, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
b.      Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan);
c.       Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh);
d.      Apabila berlainan jenis, hal itu harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Transaksi Option

Transaksi Option adalah kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Transaksi Forward

Transaksi Forward adalah transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan pada kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

Transaksi Swap

Transaksi Swap adalah suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Transaksi Spot (Fauri)

Spot; Fauri adalah
1.      Transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.
2.      Adalah pembelian atau penjualan mata uang asing yang waktu penyerahannya (settlement) dilakukan dalam dua hari kerja (spot transaction).

 

Definisi Kartu Kredit

Kartu Kredit; Bithaqah al-I’timan adalah kartu yang diterbitkan oleh bank atau perusahaan pengelola kartu kredit yang memberikan hak kepada orang yang memenuhi persyaratan tertentu yang namanya tertera dalam kartu untuk menggunakannya sebagai alat pembayaran secara kredit atas perolehan barang atau jasa, atau untuk menarik uang tunai dalam batas kredit sebagaimana telah ditentukan oleh bank atau perusahaan pengelola kartu kredit; dalam melaksanakan pembayaran kembali kredit tersebut, pemegang kartu tidak diwajibkan untuk melakukan pembayaran sekaligus, tetapi diberikan kelonggaran untuk membayar secara angsuran dengan tingkat bunga tertentu dan nilai angsuran sebesar persentase tertentu dari saldo kredit yang telah, digunakan (credit card).

Akad pada Syariah Card

Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah:
a.      Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah);
b.      Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu;
c. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.

Kartu Kredit Syariah (Syariah Card)

Kartu Kredit Syariah (Syariah Card)
Kartu kredit (Inggris; credit card, Arab; bithaqah i’timan) yang dalam Islamic finance dikenalkan istilah Islamic card atau shariah card di dunia yang menuju less cash society pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko.
Status Hukumnya :
Dalam beberapa literatur fikih kontemporer, sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam berbagai transaksi. Oleh karena itu, berlaku di sini hukum kafalah, qardh dan ijarah.
Sementara dalam ketentuan Umum fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit Card) yang dimaksud dengan Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil Alquran, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “…dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf: 72).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Nabi Muhammad saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban).
Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam muamalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (sukarela/voluntary) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerja sama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut. agar aman/jauh dari syubhat.
Tetapi, kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, sah-sah saja. Namun demikian, jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Secara prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam praktiknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan utang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak.
Di samping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit tertentu. (Lihat, DR Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161).
Dengan demikian, dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun, bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar utang.
Hal ini berdasarkan prinsip fikih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan preventif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw. melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR Bukhari, Abu Dawud).

Keuntungan Bank dari Kartu Kredit Syariah

Bank syariah hanya mendapat keuntungan dari jasa penjamin transaksi dan tidak mendapatkan keuntungan dari bunga.

Landasan Hukum Kartu Kredit Syariah

Ketentuan kartu kredit ini merujuk kepada beberapa dalil di antaranya sebagai berikut;
Firman Allah Swt., antara lain: “Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…” QS. al-Maidah [5]: 1. Selain itu QS. al-Isra’ [17]: 34, QS. Yusuf [12]: 72, QS. al-Maidah [5]: 2, al-Furqan [25]: 67, QS. Al-Isra’ [17]: 26-27, QS. al-Qashash [28]: 26, QS. al-Baqarah [2]: 275, QS. al-Nisa’[4]: 29, QS. al- Baqarah [2]: 282, QS. al-Baqarah [2]: 280.
Demikian pula merujuk kepada hadis Nabi Muhammad saw. antara lain: “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi), “Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain.” HR Ibnu Majah dan al-Daraquthni, “Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw. jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau menshalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” HR Bukhari, “Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung utang)”. HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban, “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” HR Abu Dawud, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” HR Abd ar-Razzaq, “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” HR Muslim, “…menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezhaliman…”. HR Jemaah, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya.” HR Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, dan “Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.” HR Bukhari.
Kaidah Fikih yang menjadi dasar fatwa antara lain: a. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” b. “Kesulitan dapat menarik kemudahan.” c. “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” d. “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).” e. “Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan.”
Selain itu, keputusan fatwa tersebut diambil setelah mempelajari pendapat fuqaha’ dan fatwa di dunia internasional antara lain Imam al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hlm. 77–78, Khatib Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj, jilid III, hlm. 202, As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab, juz I, Kitab al-Ijarah, hlm. 394, Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih al-Sunnah, jilid 4, hlm. 221–222, Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh ‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, hlm. 542-543: “Letter of Credit (L/C).
Adapun fatwa lain yang menjadi rujukan adalah Keputusan Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan.
Demikian pula Fatwa-fatwa DSN-MUI terkait yaitu :
a.       No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah,
b.      No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah,
c.       No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran,
d.      No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh;
e.       No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh.
Sebagai perbandingan dapat pula dilihat fatwa terkait kartu kredit yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa No. 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7425.

Beda antara Kartu Kredit Syariah dan Konvensional

Perbedaan antara kartu kredit syariah dan kartu kredit konvensional adalah:
Kartu kredit konvensional mengutamakan adanya bunga (misalnya sebesar 2-4% per bulan) sebagai bentuk pengambilan keuntungan terhadap pelunasan tagihan yang dicicil. Nilai ini berbentuk bunga berbunga, sehingga dalam 1 tahun saja bunganya saja bisa mendekati nilai transaksi awal.
Kartu Kredit Syariah, mengklaim adanya skema unik berdasarkan sistem syariah, yaitu akad ijarah, kafalah, dan qardh.
§    Akad ijarah adalah biaya keanggotaan (iuran tahunan)
§    kafalah adalah penjaminan transaksi
§    qardh adalah pemberian pinjaman untuk pengambilan tunai. Secara umum skemanya seharusnya tidak jauh beda dari kartu kredit konvensional, tapi untuk mendukung 3 jenis skema akad tersebut, Kartu Kredit Syariah menggunakan sejumlah aturan pendukung karena tidak menggunakan bunga.
Ada 3 hal yang diharapkan dapat meredam kemungkinan terjebak pada bunga/riba:
a.       Goodwill investment. Pengguna wajib menyetor goodwill investment (misalnya sebesar 10% dari limit). Ini bertujuan supaya penggunaan kartu kredit tidak semena-mena;
b.      Pembukaan rekening. Pengguna wajib membuka rekening di bank syariah (misalnya sebesar minimum 500 ribu rupiah).
c.       Pengenaan Denda.
Ada 2 jenis denda yang akan dikenakan bila pengguna Kartu Kredit Syariah terlambat melunasi utangnya. Misalnya, Denda pertama adalah ta’widh, sebagai biaya penagihan bank, sebesar 17 ribu per bulan. Denda kedua adalah sebesar 3% dari tagihan. Tapi ingat, jumlah itu bukan bunga karena merupakan qardhul hasan yang akan disumbangkan ke BAZIS dan bukan hak bank.

 

Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)

SWBI atau Sertifikat Wadiah Bank Indonesia merupakan salah satu instrument moneter bank Indonesia yang diperuntukkan bagi bank-bank syariah di Indonesia,
Tujuannya adalah sebagai tempat kelebihan likuiditas dari bank-bank syariah. Berbeda dari SBI yang menggunakan sistem lelang,
SWBI menggunakan system wadiah atau titipan, dengan Bank-bank syariah hanya mendapatkan bonus tergantung kebijakan BI jadi tidak tetap berbeda dari SBI, biasanya jika SBI bias mendapatkan 7%-8%, sedangkan SWBI kira-kira hanya 3%. Oleh sebab itu, bank syariah banyak mengucurkan kredit/pembiayaan daripada bank konvensional.

Syarat Penempatan SWBI

Syarat penempatan SWBI:
1.      Jumlah dana: Jumlah dana yang dititipkan sekurang-kurangnya Rp500 Juta dan selebihnya kelipatan Rp50 Juta.
2.      Jangka waktu: Jangka waktu penempatan 1 minggu, 2 minggu dab 1 bulan dinyatakan dengan hari.
3.      Tata cara penitipan:
a.       Bank atau UUS mengajukan permohonan penitipan sesuai dengan jangka waktu melalui RMDS, faksimile, telp atau sasaran lainnya;
b.      Permohonan ditegaskan secara tertulis dengan surat penegasan transaksi penitipan dana (SPTP) selambat-lambatnya pukul 15.00 WIB ke Direktur. Pengelolaan Moneter cq. Bagian operasi pasar Uang BI bagi Bank atau UUS yang di luar wilayah Jabotabek disampaikan melalui KBI stempat.

Sanksi pada SWBI

Ketentuan sanksi pada SWBI adalah sebagai berikut:
1.      Apabila Bank atau UUS saldo Rekening Gironya tidak mencukupi sehingga dibatalkan;
2.      Pembatalan lebih dari dua kali dalam kurun waktu 6 bulan, untuk pembatalan ketiga dikenakan denda 1 per mil dari kekurangan transaksi selain sanksi administratif.
3.      Mengambil titipan dana sebelum jatuh tempo, dikenakan biaya administrasi.

Persetujuan SWBI

Persetujuan Bank Indonesia akan diberitahukan melalui RMDS, telepon yang ditegaskan melalui faksimile atau sarana lain selambat-lambatnya pukul 15.00 WIB.

Penyelesaian Transaksi SWBI

Berikut ketentuan penyelesaian transaksi SWBI:
1.      Penyelesaian transaksi dilakukan pada hari kerja yang sama;
2.      Bank Indonesia akan melakukan pendebetan rekening giro Bank atau UUS sebesar nilai titipan dana.
3.      Pada saat jatuh tempo, BI akan mengkredit Rekening Giro Bank atau UUS sebesar nilai titipan dana;
4.      BI akan memberikan bonus kepada Bank atau UUS pada saat jatuh tempo penitipan dana dengan mengkredit rekening giro Bank.

Definisi Ju’alah

Ju’alah;
1.      Adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.
2.      Adalah akad dengan pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas atau pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini diterapkan oleh bank dalam menawarkan pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah. Contoh Referensi Bank, dukungan Bank.
3.      Artinya janji hadiah atau upah. Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.
Secara terminologi fikih berarti “suatu Iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
Umpamanya, seseorang berkata: “Siapa saja yang dapat menemukan SIM atau KTP saya yang hilang, maka saya beri imbalam upah lima puluh ribu rupiah”. Dalam masyarakat Indonesia ini, biasanya diiklankan di surat kabar supaya dapat dibaca orang.
Mazhab Maliki mendefinisikan Ju’alah: “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti bisa dilaksanakan oleh seseorang.
Mazhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.
Definisi pertama (Mazhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Mazhab Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.
Meskipun Ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah (Ulama Mazhab Hanbali), ia dapat dibedakan dengan ijarah (transaksi upah) dari lima segi:
1.      Pada Ju’alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi objek pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersbut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan, tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2.      Pada Ju’alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara dan bentuk pekerjaannya. Sedangkan pada ijarah, batas waktu penyelesaian bentuk pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan objek pekerjaan itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ju’alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau cara mengerjakannya.
3.      Pada Ju’alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam ijarah, dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan bersama asal saja yang memberi upah itu percaya.
4.      Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan di surat kabar. Sedangkan dalam akad ijarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika perjanjian itu dibatalkan, maka tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan. Biasanya sangsinya disebutkan dalam perjanjian (akad).
5.      Dari segi ruang lingkupnya Mazhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang dibenarkan menjadi objek akad dalam transaksi ju’alah, boleh juga menjadi objek dalam transaksi ijarah. Namun, tidak semua yang dibenarkan menjadi objek dala transaksi ijarah, dibenarkan pula Menjadi Objek dalam transaksi Ju’alah.
Dengan demikian, ruang lingkup ijarah lebih luas daripada ruang lingkup Ju’alah. Berdasarkan kaidah tersebut, maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi objek dalam akad ijarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ju’alah.
Dalam ijarah, orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun airnya belum ditemukan. Sedangkan pada ju’alah, orang itu baru mendapat upah atau hadiah sesudah pekerjaannya itu sempurna.

Dasar Hukum Ju’alah

Mazhab Maliki, Syaf’i dan Hanbali berpendapat, Ju’alah boleh dilakukan dengan alasan:
1.      Firman Allah: “Penyeru-penyeru itu berkata: “kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” (Yusuf: 72);
2.      Dalam hadis diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara Ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang di antara mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca surat Al-Fatihah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah tidak halal. Rasullah pun tertawa seraya bersabda: “Tahukah Anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif ). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian”. (HR Jamaah, mayoritas ahli Hadis kecuali An Nasa’i).
3.      Secara logika Ju’alah dapat dibenarkan, karena merupakan salah satu cara untuk memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya dengan ijarah dan mudharabah (perjanjian kerja sama dagang).
Mazhab Hanafi tidak membenarkan Ju’alah, karena dalam Ju’alah terdapat unsur gharar, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Perbuatan yang mengandung gharar itu merugikan salah satu pihak dan dilarang dalam Islam.
Ibnu Hazm juga adalah ulama yang melarang Ju’alah, sebagaimana yang dikatakannya dalam al-Muhalla, “Tidak dibolehkan menjadikan Jua’alah terhadap seseorang. Barang siapa yang berkata kepada orang lain, Jika engkau mampu mengembalikan budakku yang melarikan diri kepadaku, aku berkewajiban membayarmu sekian dinar, atau seperti perkataan, ‘Jika engkau melakukan ini dan ini, maka engkau akan kuberikan sekian dirham’, atau kalimat yang senada, dan ternyata benar-benar terlaksana”.
Dapat pula seseorang berseru dan bersaksi kepada dirinya, “barang siapa yang dapat menyerahkan kepadaku hal ini,” dan ia memperoleh apa yang dijadikan ju’alah tersebut. Maka, orang tadi berkewajiban untuk membayarnya. Tetapi, ia disunnahkan untuk menepati janjinya, begitu juga halnya bagi orang yang mampu mengembalikan budak yang melarikan diri, maka ia tidak berhak mendapatkannya, baik orang yang menyuruh itu mengetahui bahwa orang itu benar-benar datang membawa budaknya yang melarikan diri maupun tidak. Kecuali apabila disewakan untuk memenuhi tugas tertentu dalam jangka waktu yang terbatas, atau untuk tugas membawanya dari tempat tertentu, maka si pelaksana berhak mendapatkan bayaran.
Namun, bagi kaum yang mewajibkan ju’alah tersebut, mereka menentukan wajibnya memenuhi janji orang yang menyuruh memenuhi janjinya tersebut. Sebagaimana firman Allah: ”Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji….” (al-Maidah: 1). Mereka juga berdalil pada hadis “tentang pengobatan” dengan ayat Alquran dengan imbalan upah atas beberapa ekor domba.

Syarat Ju’alah

Agar pelaksanaan ju’alah dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat :
1.      Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: balig, berakal, dan cerdas. Dengan demikian, anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan ju’alah.
2.      Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri atas sesuatu yang bernilai harta dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali).
3.      Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
4.      Mazhab Maliki dan Syai’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Mazhab Hambali membolehkan pembatasan waktu.
5.      Mazhab Hambali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun bisa dilakukan berulang kali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak.

 

 

Ketentuan Akad pada Ju’alah

Akad ju’alah boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan jasa dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Pihak ja’il harus memiliki kecakapan hukum dan kewenangan (muthlaq al-tasharruf) untuk melakukan akad;
2.      Objek ju’alah (mahal al-‘aqd/maj’ul ‘alaih) harus berupa pekerjaan yang tidak dilarang oleh syariah;
3.      Hasil pekerjaan (natijah) sebagaimana dimaksud harus jelas dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran;
4.      Imbalan ju’alah (reward/’iwadh/ju’l) harus ditentukan besarannya oleh Ja’il dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran; dan
5.      Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan objek Ju’alah).

Ketentuan Hukum pada Ju’alah

Ketentuan hukum akad ju’alah adalah sebagai berikut:
1.      Imbalan ju’alah hanya berhak diterima oleh pihak maj’ul lahu apabila hasil dari pekerjaan tersebut terpenuhi;
2.      Pihak Ja’il harus memenuhi imbalan yang diperjanjikannya jika pihak maj’ul lah menyelesaikan (memenuhi) prestasi (hasil pekerjaan/natijah) yang ditawarkan.

Pembatalan Ju’alah

Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang, bahwa Ju’alah adalah perbuatan hukum yang bersifat suka rela. Dengan demikian, pihak pertama yang menjanjikan upah atau hadiah, dan pihak kedua yang melaksanakan pekerjaan dapat melakukan pembatalan.
Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa ju’alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai dilaksanakan, karena pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela.
Namun, menurut mereka, apabila pihak pertama membatalkannya, sedangkan pihak kedua belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai dengan volume perbuatan yang dilaksanakannya. Kendatipun pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela, kebijaksanaan perlu diperhatikan.

Shighah (Ucapan yang Digunakan) pada Ju’alah

Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa agar perbuatan hukum yang dilakukan dalam bentuk ju’alah itu dipandang sah, harus ada ucapan (shigah) dari pihak yang menjanjikan upah atau hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain untuk melaksanakan perbuatan yang diharapkan dan jumlah upah yang jelas tidak seperti iklan dalam surat kabar yang biasanya tidak menyebutkan imbalan secara pasti.
Ucapan tidak mesti keluar dari orang yang memerlukan jasa itu, tetapi boleh juga dari orang lain seperti wakilnya, anaknya atau bahkan orang lain yang bersedia memberikan hadiah atau upah. Kemudian ju’alah dipandang sah, walaupun hanya ucapan ijab saja yang ada, tanpa ada ucapan qabul (cukup sepihak).

Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip ju’alah dalam mata uang rupiah. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Lihat SBIS.
Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah) adalah SBIS yang menggunakan Akad Ju’alah, dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju’alah.

Ketentuan Akad pada SBIS Ju’alah

Ketentuan Akad pada SBIS Ju’alah adalah sebagai berikut:
1.      SBIS Ju’alah sebagai instrumen moneter boleh diterbitkan untuk pengendalian moneter dan pengelolaan likuiditas perbankan syariah.
2.      Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank syariah bertindak sebagai maj’ul lah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying Ju’alah (mahall al-‘aqd) adalah partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
3.      Bank Indonesia dalam operasi moneternya melalui penerbitan SBIS mengumumkan target penyerapan likuiditas kepada bank-bank syariah sebagai upaya pengendalian moneter dan menjanjikan imbalan (reward/‘iwadh/ju’l) tertentu bagi yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaannya.

Ketentuan Hukum SBIS Ju’alah

Ketentuan Hukum SBIS Ju’alah adalah sebagai berikut:
1.      Bank Indonesia wajib memberikan imbalan (reward/‘iwadh/ju’l) yang telah dijanjikan kepada bank syariah yang telah membantu Bank Indonesia dalam upaya pengendalian moneter dengan cara menempatkan dana di Bank Indonesia dalam jangka waktu tertentu, melalui “pembelian” SBIS Ju’alah.
2.      Dana bank syariah yang ditempatkan di Bank Indonesia melalui SBIS adalah wadi’ah amanah khusus yang ditempatkan dalam rekening SBIS-Ju’alah, yaitu titipan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan atau ketentuan Bank Indonesia, dan tidak dipergunakan oleh Bank Indonesia selaku penerima titipan, serta tidak boleh ditarik oleh bank syariah sebelum jatuh tempo.
3.      Dalam hal bank syariah selaku pihak penitip dana (mudi’) memerlukan likuiditas sebelum jatuh tempo, ia dapat me-repo-kan SBIS Ju’alah-nya dan Bank Indonesia dapat mengenakan denda (gharamah) dalam jumlah tertentu sebagai ta’zir.
4.      Bank Indonesia berkewajiban mengembalikan dana SBIS Ju’alah kepada pemegangnya pada saat jatuh tempo.
5.      Bank syariah hanya boleh/dapat menempatkan kelebihan likuiditasnya pada SBIS Ju’alah sepanjang belum dapat menyalurkannya ke sektor riil.
6.      SBIS-Ju’alah merupakan instrumen moneter yang tidak dapat diperjualbelikan (nontradeable) atau dipindahtangankan, dan bukan merupakan bagian dari portofolio investasi bank syariah.

Ketentutan Hukum SBIS

Ketentuan Hukum SBIS adalah sebagai berikut:
1.      Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen pengendalian moneter boleh diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan operasi pasar terbuka (OPT).
2.      Bank Indonesia memberikan imbalan kepada pemegang SBIS sesuai dengan akad yang dipergunakan.
3.      Bank Indonesia wajib mengembalikan dana SBIS kepada pemegangnya pada saat jatuh tempo.
4.      Bank Syariah boleh memiliki SBIS untuk memanfaatkan dananya yang belum dapat disalurkan ke sektor riil.

Akad pada SBIS

SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad ju’alah; mudharabah (muqaradhah)/qiradh; musyarakah; wadi’ah; qardh; dan wakalah.

Imbalan pada SBIS

Ketentuan mengenai imbalan SBIS adalah sebagai berikut:
1.      Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas SBIS yang diterbitkan.
2.      Bank Indonesia membayar imbalan pada saat jatuh waktu SBIS.

Karakteristik SBIS

SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.       satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b.      berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan;
c.       diterbitkan tanpa warkat (scripless);
d.      dapat diagunkan kepada Bank Indonesia;
e.       tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.

Kewenangan BI pada SBIS

Dalam rangka penyelesaian Transaksi SBIS Bank Indonesia berwenang untuk:
1.      mendebet Rekening Giro atas pembelian SBIS oleh BUS atau UUS;
2.      mendebet Rekening Surat Berharga dan Rekening Giro atas Repo SBIS termasuk memindahkan pencatatan SBIS dalam rangka pengagunan.

 

 

Mekanisme Penerbitan SBIS

Ketentuan mekanisme penerbitan SBIS adalah :
1.      Bank Indonesia menerbitkan SBIS melalui mekanisme lelang.
2.      Penerbitan SBIS menggunakan BI-SSSS.

Repo dan Biaya Repo SBIS

Berikut adalah ketentuan Repo SBIS:
1.      BUS atau UUS dapat mengajukan Repo SBIS kepada Bank Indonesia.
2.      Repo SBIS berdasarkan prinsip qardh yang diikuti dengan rahn.
3.      BUS atau UUS yang mengajukan Repo SBIS harus menandatangani Perjanjian Pengagunan SBIS dalam Rangka Repo SBIS serta menyampaikan dokumen pendukung yang dipersyaratkan kepada Bank Indonesia.
4.      Bank Indonesia menetapkan dan mengenakan biaya atas Repo SBIS.
Kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka Repo SBIS karena BUS atau UUS tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS.

Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS)

Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.
Tujuan PUAS adalah
1.      Untuk memelihara posisi likuiditas yang cukup bagi Bank sepanjang waktu;
2.      Untuk memaksimalkan yield pendapatan atas investasi dana-dana jangka pendek;
3.      Untuk berpartisipasi dalam Pasar Uang Syariah dan membangun sensitifitas terhadap perkembangan tingkat bagi hasil di Pasar Uang Syariah.
Akad yang dapat digunakan dalam Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip syariah adalah mudharabah (muqaradhah)/qiradh, musyarakah, qardh, wadi’ah, al-sharf. Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh dipindahtangankan sekali.
Peserta PUAS adalah:
a.       bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana;
b.      bank konvensional hanya sebagai pemilik dana.

Akad pada Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS)

Akad yang dapat digunakan dalam Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip syariah adalah mudharabah (muqaradhah)/qiradh, musyarakah, qardh, wadi’ah, al-sharf. Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh dipindahtangankan sekali.

Tujuan Pasar Uang Syariah

Tujuan Pasar Uang Syariah
1.      Untuk memelihara posisi likuiditas yang cukup bagi Bank sepanjang waktu;
2.      Untuk memaksimalkan yield pendapatan atas investasi dana-dana jangka pendek;
3.      Untuk berpartisipasi dalam Pasar Uang Syariah dan membangun sensitifitas terhadap perkembangan tingkat bagi hasil di Pasar Uang Syariah.
Pasar Uang Antarbank Syariah (PUAS) adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarbank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing.